13 Maret 2012

Riba: Antara Tujuan Produktif dan Konsumtif


Kriteria riba yang berkembang di masyarakat memang beragam. Kita pernah membahas kriteria berlipat ganda, maka kali ini saya ingin membahas kriteria penggolongan riba berdasarkan tujuan peminjaman. Sementara masyarakat menganggap, bila peminjaman itu untuk tujuan konsumtif maka pengenaan bunga bisa dikategorikan riba. Namun bila peminjamannya untuk tujuan produktif, pengenaan bunga dikategorikan bukan riba. Sesungguhnya pendapat semacam ini tidak ada dalilnya dalam Islam. Kalau kita cermati, memang terdapat sejumlah kelemahan. Dengan kriteria itu seolah-olah kita menganggap bahwa timbulnya riba disebabkan oleh penggunaan non-produktif. Padahal kita tahu, baik aktivitas produksi maupun konsumsi merupakan kegiatan halal untuk dilaksanakan, sepanjang tidak melanggar hal-hal yang dilarang oleh syara’. 


Untuk pinjaman produktif, terdapat dua kemungkinan: memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Jika dalam menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam? Coba bayangkan, seandainya si pemberi pinjaman diminta untuk menjalankan usahanya sendiri, apakah dapat dijamin bahwa dia pasti dan akan selalu untung, minimal sekian persen dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan resesi atau krisis? Jelas, jawabannya tidak. Lantas, mengapa ia mewajibkan keuntungan minimal kepada orang lain, padahal dia sendiri pun tidak mampu melaksanakannya.


Apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari nilai bunga yang harus dibayar setiap bulan atau setiap tahun, bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagiannya? Ia sendiri tidak melakukan apa-apa, sedangkan peminjam bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga, kemampuan, bahkan mungkin modalnya sendiri, malah tidak memperoleh apa-apa. 


Kreditor bisa saja menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan. Bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan kerjasama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal dengan menarik keuntungan tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil. 
Seandainya ia ingin membantu untuk tujuan kemanusiaan, hukum yang berlaku adalah qardhul hasan atau pinjaman kebajikan. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman: “Siapakah yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. al-Hadiid: 11).
ƨB #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur ֍ô_r& ÒOƒÌx. ÇÊÊÈ  




Akan tetapi jika ia ingin berbisnis dengan dananya, maka banyak hal yang bisa dia lakukan, baik secara jual beli, bagi hasil, sewa, dan lain-lain. Tapi di sisi lain, memang juga tidak adil bila si pemilik dana telah mengkontribusikan dana bersama mitranya, sementara seluruh keuntungan diambil mitranya, tanpa memberikan sesuatupun kepada investor. Karena itu akadnya harus jelas sejak awal, apakah akan mengunakan skema murabahah, salam, istishna, mudharabah, musyarakah atau yang lainnya. Semua sudah ada aturan mainnya yang adil bagi kedua belah pihak. 


Dari penjelasan ini maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kriteria penetapan riba dengan menyandarkan pada tujuan peminjaman uang itu -- digunakan untuk tujuan produktif atau konsumtif – bukanlah kriteria yang tepat. 
Wallahu a‘lam bis-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar