Kriteria riba yang berkembang di masyarakat memang beragam. Kita pernah
membahas kriteria berlipat ganda, maka kali ini saya ingin membahas kriteria
penggolongan riba berdasarkan tujuan peminjaman. Sementara masyarakat
menganggap, bila peminjaman itu untuk tujuan konsumtif maka pengenaan bunga
bisa dikategorikan riba. Namun bila peminjamannya untuk tujuan produktif,
pengenaan bunga dikategorikan bukan riba. Sesungguhnya pendapat semacam ini tidak
ada dalilnya dalam Islam. Kalau kita cermati, memang terdapat sejumlah
kelemahan. Dengan kriteria itu seolah-olah kita menganggap bahwa timbulnya riba
disebabkan oleh penggunaan non-produktif. Padahal kita tahu, baik aktivitas
produksi maupun konsumsi merupakan kegiatan halal untuk dilaksanakan, sepanjang
tidak melanggar hal-hal yang dilarang oleh syara’.
Untuk pinjaman produktif, terdapat dua
kemungkinan: memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Jika dalam
menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat
membenarkan kreditor menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari
peminjam? Coba bayangkan, seandainya si pemberi pinjaman diminta untuk
menjalankan usahanya sendiri, apakah dapat dijamin bahwa dia pasti dan akan
selalu untung, minimal sekian persen dalam keadaan apapun, termasuk dalam
keadaan resesi atau krisis? Jelas, jawabannya tidak. Lantas, mengapa ia
mewajibkan keuntungan minimal kepada orang lain, padahal dia sendiri pun tidak
mampu melaksanakannya.
Apabila keuntungan yang diperoleh sama atau
kurang dari nilai bunga yang harus dibayar setiap bulan atau setiap tahun,
bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagiannya? Ia sendiri tidak
melakukan apa-apa, sedangkan peminjam bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga,
kemampuan, bahkan mungkin modalnya sendiri, malah tidak memperoleh apa-apa.
Kreditor bisa saja menginvestasikan
modalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan. Bila itu yang
menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan kerjasama
usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan modal dengan menarik keuntungan
tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
Seandainya ia ingin membantu untuk tujuan kemanusiaan, hukum yang berlaku
adalah qardhul hasan atau pinjaman kebajikan. Dalam kaitan ini Allah SWT
berfirman: “Siapakah yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. al-Hadiid: 11).
ƨB #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur Öô_r& ÒOÌx. ÇÊÊÈ
Akan tetapi jika ia ingin berbisnis dengan
dananya, maka banyak hal yang bisa dia lakukan, baik secara jual beli, bagi
hasil, sewa, dan lain-lain. Tapi di sisi lain, memang juga tidak adil bila si
pemilik dana telah mengkontribusikan dana bersama mitranya, sementara seluruh
keuntungan diambil mitranya, tanpa memberikan sesuatupun kepada investor.
Karena itu akadnya harus jelas sejak awal, apakah akan mengunakan skema
murabahah, salam, istishna, mudharabah, musyarakah atau yang lainnya. Semua
sudah ada aturan mainnya yang adil bagi kedua belah pihak.
Dari penjelasan ini maka bisa ditarik
kesimpulan bahwa kriteria penetapan riba dengan menyandarkan pada tujuan
peminjaman uang itu -- digunakan untuk tujuan produktif atau konsumtif –
bukanlah kriteria yang tepat.
Wallahu a‘lam bis-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar