Oleh : Irfan Syauqi Beik*
*Penulis adalah
mahasiswa S2 Jurusan Ekonomi Islam, International Islamic University Islamabad,
Pakistan
Fenomena
perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat
menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi
perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan. Meskipun kalau
dilihat dari volume usaha perbankan syariah jika dibandingkan dengan total
keseluruhan volume usaha perbankan nasional, maka nilainya masih relatif kecil,
yaitu sebesar 2,5 trilliun rupiah. Sedangkan total volume usaha perbankan
nasional secara keseluruhan mencapai angka 1087 trilliun rupiah. Kalau kita
persentasekan, maka volume usaha perbankan syariah baru mencapai angka 0,23 %
(Sumber : Biro Perbankan Syariah BI). Walau demikian, prospek perbankan syariah
kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar.
Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang
syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang konvensionalnya
menjadi cabang syariah. Sementara di tingkat kecamatan, kita pun memiliki
puluhan BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.
Permasalahan yang Dihadapi Perbankan Islam
Sesungguhnya jika mau jujur, masih banyak permasalahan
yang dihadapi oleh perbankan syariah. Adapun beberapa problematika yang muncul
seiring dengan berkembangnya industri perbankan syariah dapat kita kategorikan
pada beberapa masalah yang diantaranya adalah :
Pertama, adalah kurangnya deposito. Perbankan yang
beroperasi secara syariah tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang
ingin mendapat keuntungannya tanpa menanggung resiko apapun.
Karena sesuai
syariah, berbagi keuntungan tidak dibenarkan tanpa berbagi resiko. Jenis
deposan seperti ini pada umumnya lebih cenderung untuk mendepositokan uangnya
pada bank-bank yang beroperasi dengan system bunga / riba atau pada pasar modal
(stock market).
Yang kedua, masalah yang dihadapi oleh perbankan
syariah adalah likuiditas berlebihan (excessive liquidity). Tentu saja bank
Islam akan lebih cenderung mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai
dengan simpanannya bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ini
dilakukan untuk mengantisipasi penarikan rekening tabungan yang dilakukan
nasabah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian tidak semua
nasabah bank Islam yang potensial menyetujui meminjamkan uangnya berdasarkan
prinsip musyarakah atau kemitraan. Pada umumnya nasabah lebih senang meminjam
dana atas dasar mudarabah, atau bahkan meminjam dari bank konvensional dengan
system bunga. Sebaliknya bank Islam akan lebih senang --dengan alasan resiko--
berinvestasi atas dasar musyarakah ketimbang mudarabah, karena dalam mudarabah,
jika suatu usaha mengalami kerugian maka bank akan menanggung beban kerugian
yang lebih besar ketimbang partnernya. Sikap konservatif investor dan bank
tersebut akan menimbulkan likuiditas berlebihan. Bank Islam pun cenderung
menahan lebih banyak cadangannya (baik pada kasnya sendiri maupun bank sentral)
sebagai perlindungan atas kerugian dan menjaga kepuasan para nasabah
potensialnya.
Masalah yang ketiga, adalah problematika biaya dan
profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih
investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah bank Islam
harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung operasional
suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi pengeluaran
manajerial. Akibatnya bank Islam harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah
terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun harus mampu
meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal
ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera
memberikan keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang
lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat
perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap
tahun terhadap simpanan.
Masalah keempat yang dihadapi selanjutnya adalah
masalah pendanaan pinjaman untuk konsumsi. Bank Islam terkadang kesulitan untuk
memberi pinjaman yang bertujuan konsumtif. Hal ini disebabkan oleh masih
terbatasnya dana yang dapat dipinjamkan tanpa memperoleh keuntungan. Kemudian
bank-bank Islam yang ada saat ini masih kesulitan untuk mengumpulkan dana
zakat, infak, maupun shadaqah pada skala yang besar, padahal dana zakat ini
merupakan potensi yang sangat luar biasa, dan bisa dijadikan sebagai salah satu
sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif.
Masalah yang kelima adalah masih minimnya sumberdaya
manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan
industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi
penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
Karena itu Dewan Pengawas Syariah harus berperan aktif didalam mengawasi segala
aktivitas usaha yang dilakukan bank Islam. Kemudian perlu ditingkatkan berbagai
upaya sosialisasi secara terus menerus mengenai system perbankan yang sesuai
dengan syariah.
Dan masalah keenam yang dihadapi kalangan perbankan
syariah adalah belum maksimalnya institusi undang-undang yang menjadi payung
hukum bagi keseluruhan aktivitas perbankan Islam. Karena itu kita perlu
mendukung secara penuh upaya untuk membuat RUU Perbankan Syariah yang
direncanakan akan selesai pada akhir 2003 ini. Bahkan sudah saatnya kita
mengembangkan wacana bank sentral syariah sebagai payung bersama bagi seluruh
bank yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Bagaimanapun juga bank-bank
syariah membutuhkan institusi bank sentral tersendiri, yang terpisah dengan
bank sentral yang sudah ada. Karena tidak mungkin dalam suatu institusi ada dua
system yang memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, akibatnya akan
selalu ada permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat perkembangan salah
satunya. Dalam kasus ini, bisa jadi yang terhambat adalah perkembangan
perbankan syariah.
Wallahu 'alam bi ash-shawab.
# Penulis adalah mahasiswa S2 jurusan Ekonomi Islam,
International Islamic University Islamabad, Pakistan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar