Perekonomian yang tumbuh dan berkembang adalah harapan setiap insan karena dengannya kesejahteraan dapat terwujud. Bila kesejahteraan telah terwujud, maka kebahagiaan hidup dunia dengan mudah menjadi milik Anda.
Beraneka ragam cara dan kiat ditempuh umat manusia guna mewujudkan cita-cita indah ini. Di antara mereka ada yang memulai dari jaur industri, ada yang dari jalur pertanian, peternakan, dan lainnya. Di antara mereka ada yang menempuh jalur yang lurus nan bersih, namun banyak pula yang menghalalkan segala macam cara tanpa peduli dengan berbagai nilai-nilai agama ataupun budaya yang berlaku di masyarakat.
Di antara cara keji yang sering ditempuh sebagian orang demi melipatgandakan kekayaannya ialah dengan menjadi lintah darat. Mereka menduga bahwa dengan cara tersebut harta dapat berlipat ganda dan akhirnya kesuksesan dunia menjadi nyata. Mereka lupa bahwa sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara haram tersebut hanyalah menjadi awal dari nestapa.
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit.”
Hukum Riba
Riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syariat Islam. Banyak dalil yang menunjukkan akan keharamannya dan menutup celah terjadinya riba.
Ayat berikut salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharamannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari praktik dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliah, bila piutang telah jatuh tempo, maka kreditur berkata kepada debitur, ‘Lunasi utangmu atau bayar riba. Bila debitur tidak melunasinya, maka kreditur menunda tagihan dengan kompensasi debitur menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga beberapa kali lipat.”
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)’ dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal sholih, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 275-280)
Kelima ayat ini merupakan larangan sekaligus ancaman berat bagi pemakan riba. Pada kelima ayat ini terdapat berbagai petunjuk kuat lagi tegas bagi keharaman riba:
Pertama: Pemakan riba dihinakan di hadapan seluruh makhluk, ketika ia dibangkitkan dari kuburannya. Ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan orang gila. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuberkata, “Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik.”