13 Maret 2012

Materialisme Uang

Uang adalah alat tukar, sebagai pengganti ketika metoda barter (pertukaran antara dua pihak dengan dua benda yang disepakati mempunyai nilai yang sama) mulai ditinggalkan di jaman Kekaisaran Romawi dulu. Kemudian karena banyak negeri melakukan hal yang sama terjadilah banyaknya mata uang di tiap wilayah pemerintahan yang berbeda, sehingga timbul perbedaan nilai antar mata uang itu sendiri. Bahkan akhirnya uang itu sendiri diperjualbelikanmembeli uang dengan uang. Manusia memang aneh, namun secara konsep hal itu kembali ke asalnya yaitu menukar benda bernama uang dengan kesepakatan nilainya sama, alias barter.

Kini uang menjadi penentu kemajuan sebuah negeri, bahkan menentukan sebuah kata, kekuasaan. Revolusi Industri telah mendongkrak pentingnya uang hingga timbul yang namanya kapitalisme, siapa yang mampu bermain dengan kapital akan berkuasa.
Anda mungkin antipati mendengar kapitalisme, IMHO kapitalisme cenderung buruk karena lebih sering ditunggangi kerakusan terhadap uang. Sebuah rantai perdagangan akan maju ketika mata rantainya berkembang, namun karena kerakusan mata rantai dikuasai segelintir orang saja, yang disebut monopoli. Konsep saling ketergantungan (interdependensi) dikotori oleh ego (you must depend on me). Saya hanya bisa bermimpi interdependensi ini tetap terjaga supaya seluruh mata rantai sejahtera.

Apa yang membuat sifat materialis uang pada diri kita?
 Berikut dua hal yang terasa dan terpikir oleh saya, yaitu karena kaya dan karena miskin. Jika saya kaya maka saya bisa terjebak dalam melihat nilai uang, saya bisa menjadi rakus karena nilai uang menjadi sangat rendah sekaligus menjadi parameter berpikir dan bertindak secara makro dan mikro, dalam konteks publik dan pribadi. Saya bisa terjebak mencibir mereka yang mempunyai harta benda yang harganya lebih rendah dari saya, lupa akan sesuatu yang lebih penting dari harta benda tersebut yaitu nilainya, yang berbeda-beda pengukurannya untuk setiap orang. Selain nilai uang menjadi rendah juga terjebak dalam kekuasaan yang dekat dengan kerakusan, sehingga semua diukur menjadi harga dalam bentuk uang.

Sebaliknya jika saya miskin saya bisa terjebak dalam melihat uang sebagai sesuatu yang nilainya sangat tinggi, harga yang lebih tinggi akan dinilai lebih tinggi, hingga secuil kekurangan akan dianggap kerugian besar, orang menyebutnya sebagai pelit, pedit, kikir, dsb. Pikiran bisa terkungkung dalam ruang diri sendiri saja, dunia makro diabaikan, dunia publik diacuhkan. Pada dasarnya miskin atau kaya bisa berakibat sama dalam menilai uang, sama-sama bisa merendahkan nilai harta benda, sama-sama bisa membuat pelit sekaligus juga sama-sama bisa membuat kerakusan.

Apakah anda kaya atau miskin? Apakah anda menilai diri anda harus dihargai dengan pendapatan ribuan dolar dalam sebulan sehingga itu menjadi tujuan hidup? Apakah anda kesal hari ini makan nggak enak dengan uang Rp5.000 sendirian sedang di pelosok sana sebuah keluarga menikmati makan dengan harga yang sama?

Makna kesejahteraan pun kini lekat dengan jumlah uang di kantong kita. Kesejahteraan adalah kondisi berimbangnya antara nilai dengan harga, berimbangnya pendapatan dengan pengeluaran, berimbangnya jumlah keuntungan dengan jumlah sedekah, zakat dan pajak.
Semoga saya tidak terjebak hal-hal di atas karena tidak proporsional mengukur kemiskinan dan kekayaan diri saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar