* Penulis adalah Mahasiswa S2 Ekonomi Islam International Islamic University Islamabad Pakistan. Tulisan ini pernah dimuat di harian Republika tgl. 13 Juni 2003
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini
sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin tumbuh dan berkembangnya industri
perbankan Islam di tanah air, dan semakin tingginya tingkat kepercayaan
masyarakat. Masyarakat sangat merindukan munculnya berbagai institusi ekonomi
yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi guna mempersempit kesenjangan sosial.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997, yang masih berlangsung
hingga saat ini, telah semakin menyadarkan kita akan pentingnya mencari dan
mengembangkan sistem ekonomi alternatif, yang mampu mencegah terjadinya
konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok orang. Tentu saja, kondisi
saat ini membutuhkan adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak agar sistem
ekonomi berdasarkan syariah Islamiyah dapat terus tumbuh dan berkembang di
Indonesia.
Perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik
dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian
nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan. Meskipun kalau dilihat dari
volume usaha perbankan syariah jika dibandingkan dengan total keseluruhan
volume usaha perbankan nasional, maka nilainya masih relatif kecil, yaitu
sebesar Rp 2,5 triliun.
Sedangkan total volume usaha perbankan nasional secara keseluruhan mencapai
angka Rp 1087 triliun. Kalau kita persentasekan, maka volume usaha perbankan
syariah baru mencapai angka 0,23 persen. Walau demikian, prospek perbankan
syariah kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat
besar. Sehingga, wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka
cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang
konvensionalnya menjadi cabang syariah. Sementara di tingkat kecamatan, kita
pun memiliki puluhan BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.
Perbankan Islam
Sesungguhnya jika mau jujur, masih banyak permasalahan yang dihadapi
oleh perbankan syariah. Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk
mengetengahkan suatu hasil riset yang dilakukan oleh Abdul Gader dan Al-Ghahani
(1990) yang melakukan studi perbandingan tentang peranan bank komersial
konvensional dan bank Islam dalam pembangunan ekonomi. Ada 4 poin penting yang
didapat dari hasil riset tersebut.
Pertama, bank Islam cenderung mempertahankan rasio yang lebih tinggi
antara uang tunai dan simpanan dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini
mengisyaratkan kepada kita bahwa ternyata bank Islam lebih konservatif daripada
bank konvensional, atau dengan kata lain, mereka kekurangan kesempatan untuk
meminjamkan dananya.
Kedua, persentase modal sendiri (equity) terhadap total aset adalah
lebih tinggi pada bank Islam daripada bank konvensional. Begitu pula dengan
rasio antara pinjaman dengan modal sendiri dan antara pinjaman dengan simpanan,
lebih tinggi pada bank Islam bila dibandingkan dengan bank komersial
konvensional. Ini menunjukkan bahwa bank Islam terikat pada modalnya dalam
pemberian pinjaman, yang berarti bahwa bank-bank ini mungkin menghadapi
kesulitan untuk menarik simpanan.
Ketiga, bank Islam menunjukkan rasio keuntungan yang lebih tinggi
daripada bank konvensional yang bergerak di negara yang sama. Ini adalah bukti
dari perolehan yang lebih tinggi terhadap kekayaan bersih atau modal pendapatan
dari aset dan rasio total pendapatan operasional dengan total aset.
Keempat, bank Islam lebih efisien daripada bank komersial
konvensional, sebagaimana terbukti dari rasio pengeluaran non bunga dengan
pendapatan kotor (gross revenue).
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun pendirian bank-bank Islam telah
berjalan dengan lancar, tetapi masih terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan
yang perlu untuk kita sempurnakan secara bersama-sama.
Beberapa masalah
Ada beberapa problematika yang muncul seiring dengan berkembangnya
industri perbankan syariah. Problematika itu dapat kita kategorikan pada
beberapa masalah yang diantaranya adalah:
Pertama, adalah kurangnya deposito. Perbankan yang beroperasi secara
syariah tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang ingin mendapat
keuntungannya tanpa menanggung resiko apapun. Karena sesuai syariah, berbagi
keuntungan tidak dibenarkan tanpa berbagi resiko.
Jenis deposan seperti ini pada umumnya lebih cenderung untuk
mendepositokan uangnya pada bank-bank yang beroperasi dengan sistem bunga/riba
atau pada pasar modal (stock market).
Kedua, masalah yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah likuiditas
berlebihan (excessive liquidity). Tentu saja bank Islam akan lebih cenderung
mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai dengan simpanannya bila
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ini dilakukan untuk mengantisipasi
penarikan rekening tabungan yang dilakukan nasabah sewaktu-waktu tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
Kemudian, tidak semua nasabah bank Islam yang potensial menyetujui
meminjamkan uangnya berdasarkan prinsip musyarakah atau kemitraan. Pada umumnya
nasabah lebih senang meminjam dana atas dasar mudarabah, atau bahkan meminjam
dari bank konvensional dengan sistem bunga.
Sebaliknya, bank Islam akan lebih senang --dengan alasan resiko-- berinvestasi
atas dasar musyarakah ketimbang mudarabah, karena dalam mudarabah, jika suatu
usaha mengalami kerugian maka bank akan menanggung beban kerugian yang lebih
besar ketimbang partnernya.
Sikap konservatif investor dan bank tersebut akan menimbulkan likuiditas
berlebihan. Bank Islam pun cenderung menahan lebih banyak cadangannya (baik
pada kasnya sendiri maupun bank sentral) sebagai perlindungan atas kerugian dan
menjaga kepuasan para nasabah potensialnya.
Ketiga, adalah problematika biaya dan profitabilitas. Bank Islam bekerja
dengan aturan yang sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai
syariah saja.
Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola
secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk
mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya bank Islam harus memikul biaya
tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga.
Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi
mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari
proyek yang segera memberikan keuntungan.
Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama) dan
proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat perbankan
Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun
terhadap simpanan. Masalah keempat yang dihadapi selanjutnya adalah masalah
pendanaan pinjaman untuk konsumsi.
Bank Islam terkadang kesulitan untuk memberi pinjaman yang bertujuan
konsumtif. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana yang dapat
dipinjamkan tanpa memperoleh keuntungan.
Kemudian bank-bank Islam yang ada saat ini masih kesulitan untuk
mengumpulkan dana zakat, infak, maupun shadaqah pada skala yang besar, padahal
dana zakat ini merupakan potensi yang sangat luar biasa, dan bisa dijadikan
sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif.
Kelima, masih minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara
komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah.
Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan
aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu Dewan Pengawas
Syariah harus berperan aktif didalam mengawasi segala aktivitas usaha yang
dilakukan bank Islam.
Kemudian, perlu ditingkatkan berbagai upaya sosialisasi secara terus menerus
mengenai sistem perbankan yang sesuai dengan syariah. Dan masalah keenam yang
dihadapi kalangan perbankan syariah adalah belum maksimalnya institusi
undang-undang yang menjadi payung hukum bagi
keseluruhan aktivitas perbankan Islam.
Karena itu, kita perlu mendukung secara penuh upaya untuk membuat RUU
Perbankan Syariah yang direncanakan akan selesai pada akhir 2003 ini. Bahkan
sudah saatnya kita mengembangkan wacana Bank Sentral Syariah sebagai payung
bersama bagi seluruh bank yang beroperasi berdasarkan sistem syariah.
Bagaimanapun juga bank-bank syariah membutuhkan institusi bank sentral
tersendiri, yang terpisah dengan bank sentral yang sudah ada.
Karena tidak mungkin dalam suatu institusi ada dua sistem yang memiliki
perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, akibatnya akan selalu ada
permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat perkembangan salah satunya.
Dalam kasus ini, bisa jadi yang terhambat adalah perkembangan perbankan
syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar