13 Maret 2012

Menuju Bank Sentral Syariah


* Penulis adalah Mahasiswa S2 Ekonomi Islam International Islamic University Islamabad Pakistan. Tulisan ini pernah dimuat di harian Republika tgl. 13 Juni 2003 

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin tumbuh dan berkembangnya industri perbankan Islam di tanah air, dan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat. Masyarakat sangat merindukan munculnya berbagai institusi ekonomi yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi guna mempersempit kesenjangan sosial.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997, yang masih berlangsung hingga saat ini, telah semakin menyadarkan kita akan pentingnya mencari dan mengembangkan sistem ekonomi alternatif, yang mampu mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok orang. Tentu saja, kondisi saat ini membutuhkan adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak agar sistem ekonomi berdasarkan syariah Islamiyah dapat terus tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan. Meskipun kalau dilihat dari volume usaha perbankan syariah jika dibandingkan dengan total keseluruhan volume usaha perbankan nasional, maka nilainya masih relatif kecil, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun.

Sedangkan total volume usaha perbankan nasional secara keseluruhan mencapai angka Rp 1087 triliun. Kalau kita persentasekan, maka volume usaha perbankan syariah baru mencapai angka 0,23 persen. Walau demikian, prospek perbankan syariah kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Sehingga, wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah. Sementara di tingkat kecamatan, kita pun memiliki puluhan BPRS yang telah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.

Perbankan Islam
Sesungguhnya jika mau jujur, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh perbankan syariah. Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk mengetengahkan suatu hasil riset yang dilakukan oleh Abdul Gader dan Al-Ghahani (1990) yang melakukan studi perbandingan tentang peranan bank komersial konvensional dan bank Islam dalam pembangunan ekonomi. Ada 4 poin penting yang didapat dari hasil riset tersebut.

Pertama, bank Islam cenderung mempertahankan rasio yang lebih tinggi antara uang tunai dan simpanan dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa ternyata bank Islam lebih konservatif daripada bank konvensional, atau dengan kata lain, mereka kekurangan kesempatan untuk meminjamkan dananya.

Kedua, persentase modal sendiri (equity) terhadap total aset adalah lebih tinggi pada bank Islam daripada bank konvensional. Begitu pula dengan rasio antara pinjaman dengan modal sendiri dan antara pinjaman dengan simpanan, lebih tinggi pada bank Islam bila dibandingkan dengan bank komersial konvensional. Ini menunjukkan bahwa bank Islam terikat pada modalnya dalam pemberian pinjaman, yang berarti bahwa bank-bank ini mungkin menghadapi kesulitan untuk menarik simpanan.

Ketiga, bank Islam menunjukkan rasio keuntungan yang lebih tinggi daripada bank konvensional yang bergerak di negara yang sama. Ini adalah bukti dari perolehan yang lebih tinggi terhadap kekayaan bersih atau modal pendapatan dari aset dan rasio total pendapatan operasional dengan total aset.

Keempat, bank Islam lebih efisien daripada bank komersial konvensional, sebagaimana terbukti dari rasio pengeluaran non bunga dengan pendapatan kotor (gross revenue).

Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun pendirian bank-bank Islam telah berjalan dengan lancar, tetapi masih terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan yang perlu untuk kita sempurnakan secara bersama-sama.

Beberapa masalah

Ada beberapa problematika yang muncul seiring dengan berkembangnya industri perbankan syariah. Problematika itu dapat kita kategorikan pada beberapa masalah yang diantaranya adalah:

Pertama, adalah kurangnya deposito. Perbankan yang beroperasi secara syariah tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang ingin mendapat keuntungannya tanpa menanggung resiko apapun. Karena sesuai syariah, berbagi keuntungan tidak dibenarkan tanpa berbagi resiko.
Jenis deposan seperti ini pada umumnya lebih cenderung untuk mendepositokan uangnya pada bank-bank yang beroperasi dengan sistem bunga/riba atau pada pasar modal (stock market).

Kedua, masalah yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah likuiditas berlebihan (excessive liquidity). Tentu saja bank Islam akan lebih cenderung mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai dengan simpanannya bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ini dilakukan untuk mengantisipasi penarikan rekening tabungan yang dilakukan nasabah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Kemudian, tidak semua nasabah bank Islam yang potensial menyetujui meminjamkan uangnya berdasarkan prinsip musyarakah atau kemitraan. Pada umumnya nasabah lebih senang meminjam dana atas dasar mudarabah, atau bahkan meminjam dari bank konvensional dengan sistem bunga.

Sebaliknya, bank Islam akan lebih senang --dengan alasan resiko-- berinvestasi atas dasar musyarakah ketimbang mudarabah, karena dalam mudarabah, jika suatu usaha mengalami kerugian maka bank akan menanggung beban kerugian yang lebih besar ketimbang partnernya.

Sikap konservatif investor dan bank tersebut akan menimbulkan likuiditas berlebihan. Bank Islam pun cenderung menahan lebih banyak cadangannya (baik pada kasnya sendiri maupun bank sentral) sebagai perlindungan atas kerugian dan menjaga kepuasan para nasabah potensialnya.

Ketiga, adalah problematika biaya dan profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja.

Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya bank Islam harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga.

Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan keuntungan.

Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun terhadap simpanan. Masalah keempat yang dihadapi selanjutnya adalah masalah pendanaan pinjaman untuk konsumsi.

Bank Islam terkadang kesulitan untuk memberi pinjaman yang bertujuan konsumtif. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana yang dapat dipinjamkan tanpa memperoleh keuntungan.

Kemudian bank-bank Islam yang ada saat ini masih kesulitan untuk mengumpulkan dana zakat, infak, maupun shadaqah pada skala yang besar, padahal dana zakat ini merupakan potensi yang sangat luar biasa, dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif.

Kelima, masih minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu Dewan Pengawas Syariah harus berperan aktif didalam mengawasi segala aktivitas usaha yang dilakukan bank Islam.

Kemudian, perlu ditingkatkan berbagai upaya sosialisasi secara terus menerus mengenai sistem perbankan yang sesuai dengan syariah. Dan masalah keenam yang dihadapi kalangan perbankan syariah adalah belum maksimalnya institusi undang-undang yang menjadi payung hukum bagi
keseluruhan aktivitas perbankan Islam.

Karena itu, kita perlu mendukung secara penuh upaya untuk membuat RUU Perbankan Syariah yang direncanakan akan selesai pada akhir 2003 ini. Bahkan sudah saatnya kita mengembangkan wacana Bank Sentral Syariah sebagai payung bersama bagi seluruh bank yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Bagaimanapun juga bank-bank syariah membutuhkan institusi bank sentral tersendiri, yang terpisah dengan bank sentral yang sudah ada.

Karena tidak mungkin dalam suatu institusi ada dua sistem yang memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, akibatnya akan selalu ada permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat perkembangan salah satunya. Dalam kasus ini, bisa jadi yang terhambat adalah perkembangan perbankan syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar