Ekonomi, Modal dan Lingkungan Hidup:
Simalamakama Kemakmuran dan Ekosistem
Perkembangan industri dunia telah lama masuk fase yang membahayakan eksistensi manusia sendiri. Semula ditujukan untuk membantunya, namun kini justru dapat memusnahkan manusia. Akankah kemakmuran dan kesejahteraan bisa bersekutu dengan kecintaan pada masa depan planet ini?
MASIH ingat salah satu iklan KB di televisi swasta? Bukan, bukan "ya-ya-ya" atau "Meoong...". Dalam iklan itu, tampak sepasang kelinci berwarna putih. Bukan sulap bukan sihir, lantas muncul empat kelinci. Lalu delapan, enam belas, hingga tak terhitung lagi banyaknya. Memenuhi layar.
Seperti gambaran yang mirip kisah lagu "Gang Kelinci" dari Lilis Suryani sekitar 20 tahun lalu itulah impian buruk
Thomas Robert Malthus dalam bukunya Essay on the Principle of Population di tahun 1798. Waktu itu, Malthus sudah mencemaskan akan terjadinya pertumbuhan pesat jumlah penduduk bumi, mirip kecepatan kelinci beranak-pinak, yang tidak tertalangi lagi oleh ketersediaan sumber daya alam yang ada. Singkat kata, ia pun mendalilkan: "Bila pertumbuhan penduduk merupakan deret ukur, pertumbuhan daya dukung alam merupakan deret hitung." Akibatnya, menurut ramalan Malthus, manusia di masa mendatang akan hidup dalam penderitaan lantaran minimnya sumber daya. Mereka harus terus bersaing lebih keras untuk memperebutkan sumber daya alam yang ada. Meski berabad lewat, kecemasan Malthus itu masih terus mewaris hingga kini; juga jadi salah satu pokok persoalan yang mencemaskan manusia industrial di akhir abad ke-20 ini. Walau sudah coba dicegah dengan penciptaan berbagai variasi alat kontrasepsi, misalnya, tetap saja pertumbuhan penduduk bumi makin pesat. Grafiknya terus cenderung naik, dan hingga kini belum menemukan titik keseimbangan. Seiring waktu bergerak, peradaban manusia terus dipenuh sesaki oleh lahirnya ribuan bayi baru setiap detik.
Padahal, daya dukung alam mustahil stay as before. Ukuran bumi saja tidak bertambah, bahkan konon kabarnya mengalami penyusutan massa. Hampir semua wilayah di permukaan planet ini habis dijelajahi manusia. Seakan tidak ada lagi "dunia baru" yang menunggu untuk dieksplorasi oleh Columbus-Columbus baru di abad mendatang. Bumi hari ini memang bukan Amerika abad-abad 16-19. Malah secara kuantitatif, "wilayah bebas" di atas permukaan bumi yang produktif makin berkurang, terus digusur untuk dijadikan habibat manusia yang populasinya terys membengkak. Belum lagi untuk lokasi-lokasi industri yang terus tumbuh akumulatif. (Contoh yang paling dekat adalah Krawang. Daerah yang jaman bahuela terkenal sebagai lumbung padi bagi pulau Jawa dengan berasnya yang pulen, kini telah terambah keperkasaan modal pemilik kawasa-kawasan industri, dan pemukiman penyangga Jakarta. Luas lahan pertanian pun terus menyusut.)
Kini, manusia modern menghadapi ancaman yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Malthus: perusakan alam dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Memang, sejak zaman pra-sejarah, manusia sudah mulai "memanfaatkan" alam: pembuatan tembaga, penambangan berbagai logam, penimbunan laut, pengeringan rawa-rawa dan lain-lain. Namun, semua itu dilakukan dalam skala yang relatif kecil.
Industrialisasi yang bermula di Inggris pada abad ke-19, menimbulkan semakin tingginya eksploitasi terhadap alam. Sebagai akibat langsung dari industrialisasi ini adalah memburuknya kondisi lingkungan hidup, yang disebabkan pencemaran limbah industri. Hal ini menimbulkan kecemasan baru bagi manusia, karena selain jumlah manusia yang semakin meningkat dan keterbatasan daya dukung alam, malahan alam ini semakin rusak.
Puncaknya adalah pada akhir abad ke-20, ketika penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) yang semakin meningkat menimbulkan kadar gas karbondioksida di udara bertambah, menahan panas matahari, dan mengancam melumerkan es di kutub, sehingga merendam kota-kota pantai di seluruh dunia. Juga, pembakaran bahan bakar fosil menipiskan, bahkan melubangi lapisan ozon di atas kutub, yang melindungi makhluk hidup dari radiasi ultraviolet matahari.
Kalau terus diusut siapa biang keroknya, industrialisasi-lah pasti yang akan dianggap paling bertanggung jawab pada eksploitasi alam. Industrialisasi membutuhkan sumber daya. Dan, sumber daya ini didapatkan dari alam. Kapitalisme, dengan prinsip efisiensinya, menginginkan agar sumber daya dikelola secara efisien, artinya, hingga sejauh mungkin bisa dimanfaatkan. Akibatnya, lihat saja gunung Grasberg di Papua Barat, yang "rata dengan tanah" gara-gara Freeport mengeruk habis mineral di dalamnya.
Tidak hanya ekstraksi kekayaan alam yang merupakan bentuk perusakan lingkungan hidup oleh kapitalisme. Bentuk lainnya yang juga penting adalah pencemaran alam oleh limbah atau sisa produksi. Atas nama efisiensi, segala sisa-sisa yang tidak dipergunakan oleh industri dibuang begitu saja ke luar, menimbulkan pencemaran lingkungan. Asap tebal yang membumbung dari cerobong pabrik, atau cairan kental berbau busuk yang mengalir ke dalam sungai, itulah asosiasi kita bila mendengar kata "pencemaran". Tidak hanya itu saja, melainkan juga zat-zat yang tak terlihat, yang juga menimbulkan bahaya bagi manusia. Kita masih ingat tragedi Bhopal di India, pada tahun 1984, ketika sebuah penyimpanan zat kimia bocor, dan menewaskan ratusan penduduk di sekitarnya. Jenis-jenis industri yang umumnya menimbulkan dampak pencemaran lingkungan perairan adalah industri pembuatan minyak goreng, industri oleo chemical, industri tekstil, industri minuman botol, industri pengalengan daging, industri pulp dan rayon, industri kecap, industri pengalengan buah-buahan, industri kayu lapis dan lain-lain. Industri yang menimbulkan pencemaran terhadap suara adalah industri pengecoran logam, industri pembuatan seng, industri pembuatan besi dan lain-lain. Debu dan abu yang berterbangan dalam lingkungan pabrik seperti debu dari pabrik semen, debu pabrik batu kapur dan gas-gas beracun dari pabrik pengolahan alumunium menimbulkan polusi udara. Limbah gas ini terserap daun-daunan tanaman penduduk yang dikonsumsi manusia.
Selain itu, banyak sekali sumber-sumber alam yang dikeruk sedemikian rupa sehingga ada peluang bahwa sumber-sumber itu akan habis dalam waktu dekat ini. Contoh yang paling mudah adalah minyak bumi, yang cadangannya semakin menipis, sementara itu, bahan bakar alternatif belum dikembangkan. Maka, manusia berusaha mencari minyak ke tempat-tempat yang semula tidak dijamah, dari panasnya padang pasir Arabia, badai Laut Utara, hingga dinginnya Alaska. Tentu saja, biayanya sangat besar, dan untuk menekan biaya produksi,
Begitulah, contoh bentuk-bentuk pemerkosaan kita pada alam masih bisa terus diperpanjang hingga nyaris tak berhingga. Jika kita gagal mengubah kebiasaan dan cara-cara lama berekonomi dalam waktu sesegera, kemerosotan lingkungan hidup akan berimbas langsung pada kemerosotan ekonomi. Misalnya, degradasi lingkungan di sekitar perusahaan justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Perusahaan harus meng-alokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih dan melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar.
Khusus untuk kasus Indonesia, persoalannya sedikit lebih rumit. Pasalnya, Orde Baru mewariskan pemerintahan yang lemah, tidak transparan dan penuh KKN. Akibatnya, terjadi pengurasan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan yang seterusnya memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik penggunaan sumber daya alam, dan terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan terbatasnya dana dalam mengelolaan lingkungan hidup. Parahnya lagi atas nama upaya maksimal keluar dari krisis ekonomi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kebocoran ekonomi yang sudah demikian berat.
Tantangan lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan adalah proses desentralisasi yang menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daerah dapat termotivasi dalam arti negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus untuk kepentingan jangka pendek. Atas nama power sharing dan desentralisasi, daerah-daerah bisa lepas kendali lalu seolah-olah bisa melakukan apa saja di wilayahnya sendiri.
Lantas, bagaimana cara menghilangkan, paling tidak mengurangi "pemerkosaan" alam oleh kapitalisme ini? Seandainya kapitalisme sebagai sistem perekonomian yang tengah berjaya di seluruh dunia ini tidak bisa lagi dibenarkan dan dipertahankan, seperti adakah sistem yang akrab lingkungan? Padahal, siapapun bisa paham, tak ada disiplin ilmu yang mengalami perbenturan paling keras dengan urusan lingkungan hidup selain ekonomi. Sebagian besar mazhab-mazhab ekonomi, mulai dari yang Marxis sampai monetarian terbukti gagal mempertemukan keperdulian lingkungan dengan kenyataan praktik berekonomi di dunia nyata.
Kegagalan Kapitalisme Bernurani
Menarik barangkali mencermati sebuah utopia yang muncul dari KTT Bumi di Rio de Janeiro Juni 1992 lalu sebagai sebuah tawaran jawaban atas tantangan di atas. Begini, sebuah sistem perekonomian yang dihidupi dan menghidupi suatu populasi yang stabil dan berimbang dengan sistem-sistem pendukung alamnya, punya sebuah sistem energi yang tidak justru meningkatkan gas-gas rumah kaca dan menganggu iklim bumi, punya suatu tingkat permintaan bahan mentah yang tidak melampaui hasil hutan, padang rumput, atau perikanan yang dapat diperbaharui, namun secara sistematis tidak menghancurkan spesies-spesies lain yang bersama-sama manusia juga hidup sebagai pemilik sah planet ini.
Industri masa datang dibayangkan sebagai industri yang mampu berproduksi dalam jangka panjang dengan tetap memelihara ekosistemnya. Untuk melestarikan ekosistem kegiatan pembangunan industri harus mencegah pencemaran, mengurangi emisi-emisi, melestarikan keanekaragaman hayati, menggunakan sumber daya biologi terpulihkan secara berkelanjutan dan mempertahankan keterpaduan ekosistem-ekosistem lain.
Masalah mendasar dan utama yang dihadapi sistem ekonomi kapitalis adalah bagaimana mempercepat pengembalian modal dalam bentuk modal lain yang makin meningkat secara intensif dan ekstensif. Dengan kalimat lain dapat digambarkan bahwa dinamika pertumbuhan ekonomi kapitalis bertumpu pada penumpukan modal melalui daur modal-penanaman modal-modal (capital-investment-capital). Untuk memenuhi dinamika ini sebuah perusahaan, misalnya, akan melakukan produksi secara besar-besaran atau memproduksi barang dengan nilai-tambah. Tindakan demikian ternyata menimbulkan empat jenis krisis utama yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Keempat krisis tersebut adalah: ekologi (sumber daya alam, lingkungan), penumpukan, produksi, dan fiskal.
Memproduksi barang secara besar-besaran hanya dapat terjadi bila tersedia bahan dasar (baca: sumber daya) secara memadai. Hal ini berarti akan terjadi pemakaian sumber daya dengan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya, sehingga timbullah krisis lingkungan. Cara demikian, di satu sisi, bukannya mengurangi tingkat kemiskinan, tapi malah meningkatkannya. Barang-barang yang telah diproduksi, di sisi lain, tidak jarang tidak segera dapat dijual, akibatnya hanya disimpan di gudang. Penumpukan barang (dan modal) semacam ini menyebabkan tidak terjadinya penanaman modal baru dan menurunkan keuntungan. Akibatnya terjadilah krisis penumpukan (modal dan barang) serta krisis produksi yang tidak diimbangi dengan kebutuhan atau pemakaian. Sedang krisis fiskal timbul karena biaya sosial dan ekologi, yang berasal dari penumpukan modal tumbuh lebih cepat daripada keseluruhan biaya produksi. Krisis ini akan menimbulkan ketimpangan neraca keuangan (fiskal) antara biaya produksi dan harga jual barang.
Keempat krisis utama ini menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar: ''Apakah ekonomi kapitalis akan berhasil mengatasi masalah lingkungan yang diciptakannya? Akankah sistem kapitalis menginternalisasikan masalah lingkungan, mengendalikan konsumsi, dan memupus penumpukan produksi melalui politik? Akankah kerusakan lingkungan dapat menghantarkan perubahan radikal dalam hal cara dan gaya produksi?''
Krisis-krisis utama dan pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang melatarbelakangi munculnya gerakan ekopolitik di negara kapitalis. Yakni, upaya meningkatkan kesadaran politik masyarakat terhadap masalah lingkungan hidup. Motivasi idealnya didasarkan atas masalah keadilan (terutama keadilan antargenerasi) dan estetika-moral (termasuk hak moral makhluk hidup lainnya). Dengan demikian, ekopolitik dalam sistem ekonomi kapitalis bertujuan untuk menegakkan keadilan, baik bagi generasi berikut, maupun mahluk hidup lainnya (juga sumber daya alam). Bila keadilan ini tercapai, maka keberlanjutan sumber daya pun akan terjaga dengan baik. Hal ini berarti ekopolitik harus berhadap-hadapan dengan sistem politik-ekonomi kapitalis yang senantiasa bertujuan mempertahankan pertumbuhan ekonominya.
Sistem politik-ekonomi kapitalis melalui jaringan perusahaan multi-/transnasionalnya (Multi-/Transnational Corporation= M-/TNC), yang tak lagi mengenal batas-batas kedaulatan negara, memiliki ''kekuasaan'' lebih besar dalam mengatur perekonomiannya di banding negara. Sering kali kebijakan perekonomian yang ditempuh oleh sebuah M-/TNC tidak perlu meminta persetujuan dan pertimbangan sebuah negara. Selain itu, lobi yang dilakukan M-/TNC lebih banyak berhasil daripada upaya kelompok masyarakat pembela lingkungan dan politisinya, terlepas dari aneka macam cara yang dipergunakan kelompok M-/TNC dalam memenangkan lobi tersebut. Untuk mengatasi persoalan ini, ekopolitik di negara kapitalis memerlukan intervensi pemerintah. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menyokong ekopolitik, yakni: menerapkan pajak pemakaian barang, perundangan, pengaturan dan pemeriksaan, pemantauan dan penelitian, serta subsidi dalam pengendalian pencemaran. Akan tetapi, hal-hal tersebut bukannya tanpa masalah. Masalah yang timbul, misalnya pemajakan, sering malah membebani kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Namun sejatinyalah implikasi ekopolitik kapitalis seperti di atas jauh dari harapan. Masyarakat kelas ''bawah'' dan sumber daya (baca: lingkungan) masih belum memperoleh keadilan, seperti yang dicita-citakan semula. Sering kali, bahkan, ekopolitik kapitalis hanya memindahkan persoalan lingkungan dari negara kapitalis ke negara dunia ketiga melalui ''tangan-tangan gurita'' bisnis M-/TNC-nya. Jadi, dengan kata lain, ekopolitik semacam ini belumlah memiliki pengaruh yang mendunia (global). Oleh karenanya, mungkin perlu dicari lagi sebuah ekopolitik lain yang lebih ''sempurna''. Sebagaimana halnya dalam dunia politik, yang mengenal adanya tandingan sistem kapitalisme, yakni sosial-demokrasi, maka mungkinkah memunculkan ekopolitik sosial-demokrasi?
Indra Krishnamurti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar