1 Agustus 2011

Kesadaran Baru Berekonomi Islam


Kesadaran Baru Berekonomi Islam
Konsep Islam dalam berekonomi telah mengalami masa kemunduran yang cukup panjang sejak zaman keemasannya. Proses kemunduran itu sendiri – boleh dikatakan akibat adanya ‘pemarginalan’ atau ‘pembusukan’ sistematis dari dalam -- konsep ekonomi Islam yang berlangsung seiring kemunduran peradaban Islam di atas muka bumi. Yaitu suatu titik balik dari kemajuan luar biasa yang pernah dicapai pada masa lalu yang kemudian masih ‘redup’ perkembangannya hingga awal millenium ketiga ini. 
Kemunduran ekonomi umat Islam di permukaan bumi ini sebenarnya berlangsung beriringan dengan lahirnya mazhab ekonomi kapitalistik yang menawarkan konsep pemujaan terhadap materialisme – saluran yang sangat pas dengan kebutuhan nafsu pemanjaan selera
kemanusiawian dan syahwat harta-benda -- dengan tanpa atau longgarnya kendali moralitas agama (iman). Dengan kata lain, ‘candu’ kapitalistik bukanlah konsep yang lahir dari sebuah kesadaran keyakinan (iman) terhadap ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu sebagaimana halnya konsep berekonomi dalam Islam. 
Bahwa mazhab ekonomi kapitalistik yang lahir dari kesadaran pemberhalaan syahwat materialisme masyarakat Barat selanjutnya mencapai perkembangan yang cukup pesat, dan  berimplikasi negatif pada perkembangan praktek ekonomi yang menganut prinsip-prinsip Islam. Perkembangan ekonomi Islam yang pernah berjaya dan diyakini umat muslim sebagai jalan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat itu sekonyong-konyong ditinggalkan dan berubah menjadi ‘stigma’ keterbelakangan – sebagai biang ketertinggalan bagi peradaban modern yang disponsori Barat --.
Bahkan ia dituding sebagai tembok atau belenggu yang menghalangi umat manusia untuk meraih dan mengeksplorasi segala kenikmatan materialisme sepuas-puasnya di atas muka bumi ini dengan segala cara (immoralitas).
Perkembangan ekonomi kapitalistik menjadi semakin kuat akibat kondisi terbalik yang sedang dihadapi masyarakat muslim dunia. Kaum intelektual dan ahli pikir muslim sendiri waktu itu sedang mengalami masa kemunduran. Perkembangan pemikiran-pemikiran yang ada di kalangan intelektual dan cendekiawan muslim pun mengalami masa stagnasi yang cukup panjang sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran berekonomi dan etos bekerja sesuai ajaran Islam.
 Perkembangan Ekonomi Umat Muslim di Indonesia
Di Indonesia, negara yang dihuni mayoritas umat muslim oleh karena keterbelakangannya, justeru rakyatnya tidak cukup mendapat kesempatan untuk menikmati fasilitas bantuan dan partisipasi, baik dalam bentuk investasi maupun lainnya dari utamanya dunia Islam dan lembaga-lembaga Islam bila dibandingkan dengan partisipasi yang diperoleh dari dunia luar dan lembaga-lembaga donor lainnya.
Banyak indikator menunjukkan bahwa betapa proses masa suram umat Islam di Indonesia masih berlangsung sampai pergantian detik ini. Khususnya dalam bidang ekonomi yang masih menempatkan umat Islam (bumiputera) pada posisi sangat marginal. Bahkan selama krisis panjang ini pun yang paling menderita adalah umat muslim. Jumlah penduduk yang bertambah miskin, putus sekolah, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya hampir dapat dipastikan bahwa hal itu semuanya dialami oleh masyarakat yang beragama muslim.
Ada kenyataan, bahwa selain Indonesia masih banyak negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim justeru merupakan negara-negara yang digolongkan sebagai negara miskin dan paling miskin di dunia. Paling tidak, dari jumlah total umat beragama yang ada di seluruh dunia, kira-kira 25 persennya adalah umat Islam, namun besarnya kontribusi umat Islam tersebut hanya berkisar 4 sampai 5% dari total GDP masyarakat dunia. Angka yang sangat tidak sebanding dengan kuantitas populasi.
Sementara itu proses akumulasi dana (capital formation) dalam lingkungan masyarakat muslim selama bertahun-tahun, umumnya tidak terdistribusi dalam lingkungan umat Islam sendiri melainkan justeru lari ke luar lingkungan Islam. Hal ini pula yang terjadi di Indonesia selama bertahun-tahun.
Sejarah Perkembangan Perbankan Islam
Denyut kebangkitan perkembangan ekonomi Islam ke-2 sendiri sesungguhnya sudah mulai terasa kontraksinya sejak pertengahan abad 20 yang lalu. Secara gradual nampaknya memang semakin berkembang pesat sampai saat ini. Setidaknya, pada kurun waktu abad lalu, tercatat sebagai periode awalnya kebangkitan kesadaran kembali umat muslim dunia untuk menegakkan sistim syariah dalam praktek-praktek dan kegiatan berekonomi sehari-hari. Utamnya dalam praktek-praktek lembaga keungan atau dunia perbankan dimana mulai ditandai dengan pendirian Bank-Bank Islam yang menerapkan prinsip syariah dalam sistim dan pola operasionalnya.
Gelombang kebangkitan ke-2 penerapan konsep ekonomi Islam dalam bidang perbankan dimulai dengan langkah coba-coba pendirian Bank Islam di beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim. Awalnya dimulai oleh Pakistan, negara pertama yang melakukan percobaan pendirian Bank Islam pada 1950 dan kemudian dicoba Mesir pada 1956. Namun sayangnya percobaan pendirian Bank Islam di dua negara tersebut tidak memberi hasil yang menggembirakan.
Era 1970-an, menjadi puncak kesadaran baru tersebut dimana umat muslim secara simultan di berbagai belahan bumi mulai mengembangkan lembaga keuangan Islam modern sendiri. Pada penghujung 1970, muslim Sudan mendirikan tiga lembaga perbankan modern, yaitu Bank Islam Sudan, Bank Islam Sudan Barat dan Bank Islam Feisal Sudan. Kemudian diikuti oleh Yordania yang mendirikan Bank Islam Yordania dan berikutnya disusul oleh Mesir yang mendirikan Bank Social Nasser. 
Selanjutnya pendirian dua Bank Islam lain yang cukup modern di Jeddah, Saudi Arabia pada 1975, yaitu Bank Islam Dunia atau IDB (Islamic Development Bank atau Al-Bankul Islami Lit-Tanmiah) dan Bank Islam Dubai di Dubai yang didirikan oleh OKI (Organisasi Koferensi Islam). Kemudian pada 1977 di Kuwait didirikan pula Kuwait Finance House, lembaga keuangan yang menerapkan prinsip syariah dalam pengelolaannya. Pada 1979 di Bahrain berdiri  Bank Islam Bahrain dan di Iran, secara bertahap Bank Islam diberlakukan sejak Ayatullah Khomeini berkuasa.
Pada bulan Juli 1981, Pakistan membuat langkah yang sangat maju yakni menghentikan seluruh pungutan bunga pada Bank-Bank konvensional. Sedangkan negara jiran Malaysia mendirikan Bank Islam Malaysia Bhd. (BIMB) pada 1983. Tak lama kemudian di Arab Saudi dibentuk lagi satu lembaga keuangan Perseroan Perbaikan Investasi Al-Rajhi pada 1985. Pada tahun yang sama Turki mendirikan lembaga ekonomi yang bernama Al-Barakah Turkish Finance House. Pada 1989 di Kuwait berdiri lembaga keuangan Islam Kuwait Turkish Evkaf Finance House Turki.
Perkembangan menarik lain justeru terjadi di Eropa dan bebarapa negara yang penduduknya minoritas muslim, bahwa pada 70-an mulai ada Bank konvensional yang membuka Islamic Window sebagai tempat beroperasi perbankan sistim syariah. Bank-Bank konvensional membuka Islamic Window ini untuk melayani nasabah masyarakat muslim yang memanfaatkan jasa lembaga keuangannya seperti di Inggris, Swiss, Denmark, Bahana, Afrika Selatan dan Fillipina.
Tetapi Islamic Window pada Bank konvensiol tersebut hanya dibuka sewaktu-waktu dan bukan dalam waktu yang bersamaan. Sementara dalam perkembangan terkini, banyak kalangan yang sudah melirik sistim Islam dalam berekonomi. Bahkan pada tahun 1998, pasar bursa saham Dowhn John telah mulai memperdagangkan saham-saham syariah kepada publik internasional. Perkembangan yang positif bagi pertumbuhan praktek-praktek ekonomi yang bersumber dari wahyu ini diharapkan akan memasuki babak baru hidupnya kembali ekonomi Islam.
Di Indonesia perkembangan pemikiran-pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi baru terdengar pada 1974. Tepatnya dimulai dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Akan tetapi, nampaknya perkembangan pemikiran dan pergumulan ijtihad panjang dalam masalah hukum ‘bunga Bank’ dan ‘zakat vs pajak’ tersebut tidak sia-sia, dimana akhirnya mebuahkan hasil yang melegakan dan memuaskan umat muslim Indonesia. Paling tidak, kalau boleh dikatakan ‘sebuah tonggak’ sejarah emas kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia  akhirnya terukir juga. Tepatnya pada hari Ahad, 3 November 1991 untuk pertama kalinya sebuah Bank Islam di launching pendiriannya secara besar-besaran di Istana Bogor yang Panitia Penyelenggaranya diketuai oleh Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz (sekarang Ketua Yayasan PINBUK, red.) Bank Islam Indonesia ini selanjutnya diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Ketika itu, memang BMI menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan 150 juta umat Islam Indonesia. Bahkan harapan yang sangat besar untuk kapasitas Bank yang baru seumur jagung. Harapan yang tentunya sangat wajar jika dikaitkan dengan suasana emosional yang menghinggapi umat Islam yang sudah puluhan tahun bercita-cita memiliki lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah yang sekaligus untuk mewujudkan ‘mimpi’ akan kebangkitan ekonomi 90% umat Islam yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan kemelaratan massal baik di desa-desa maupun di kota-kota besar.
Setelah BMI memulai beroperasi sebagai Bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan sistim syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun akibat merajalelanya Bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan pemerintah yang tangan-tangannya bahkan sampai masuk ke pelosok-pelosok desa dan kecamatan untuk menyedot dana masyarakat membuat BMI hampir tidak bisa berbuat banyak. Apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari kota-kota besar.
Hal ini barangkali, yang menjadikan BMI kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah yang memihak pada mereka. Ditambah memang, perfomance sebuah bank yang hampir tidak bisa dielak dari kesan eksklusivisme, elitis dan bahkan tidak membumi sebagaimana yang diharapkan jutaan umat sewaktu pendirian BMI sebelumnya.
Memang, sebagaimana praktek sebuah bank konvensional yang bermain di level atas dan (keharusan) berorientasi pada keuntungan, maka BMI juga tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan menengah ke atas sebagai nasabah dan debitur paling potensial. Karena sesungguhnya selama ini hanya kelompok kecil inilah yang ‘memegang’ dan punya uang. Tentu hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas Bank dan untuk mempertahankan eksistensinya melalui upaya-upaya mendapatkan keuntungan yang sewajarnya melalui bagi hasil. Kalau tidak, mungkin sulit kita membayangkan BMI akan dapat terus landing dan berkibar hingga hari ini. 
Akan tetapi pilihan model pengembangan BMI dalam habitat umat seperti itu bukan berarti tidak memiliki konsekuensi logis apa-apa. Artinya, umat Islam yang mayoritas berada di level grass root (akar rumput) tidak mendapatkan tempat yang menjadi faktor ‘pertimbangan’ dalam bisnis perbankan besar, karena masyarakat miskin hampir pasti, tidak memiliki nilai bargaining apa-apa dalam sebuah transaksi bisnis perbankan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan BMI memberikan sentuhan yang berarti kepada mereka sebagai bank yang mengusung nama Islam, utamanya pengusaha mikro dan mikro sekali yang relatif tidak mungkin dapat menjangkau persyaratan normal perbankan.
Walhasil kehadiran BMI sebagai lembaga perbankan syariah di tengah-tengah habitat umat muslim Indonesia belum dapat memenuhi keseluruhan dahaga ekonomi masayarakat dalam mengembangkan usaha-usaha mikro yang notabene milik mayoritas umat. Hal ini tentu karena BMI sendiri memiliki keterbatasan-keterbatasan yang cukup berarti, misalnya masih kurangnya modal usaha, banyaknya saingan bank konvensional yang memiliki dana unlimited dan kecenderungan pragamatis umat Islam sendiri yang masih berorientasi pada bunga bank (baca SBI) sehingga lebih memilih menjadi nasabah bank konvensional dan lain sebagainya serta berbagai kelemahan usaha mikro lainnya.
Gerbang Harapan Pengusaha Kecil
Setelah lahirnya BMI -- Bank Syariah pertama di Indonesia -- 9 tahun lalu, kini di alam reformasi telah beroperasi pula lembaga-lembaga perbankan konvensional yang menerapkan prinsip syariah, baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Kemunculan bank-bank syariah ‘baru’ -- Bank IFI Cabang syariah, Bank Syariah Mandiri dan BNI Divisi Syariah – sebenarnya tidak terlepas dari peristiwa krisis moneter yang cukup parah sejak 1998 atau pasca likuidasi ratusan bank konvensional karena pengelolaannya yang menyimpang.
Disamping itu, dalam dunia perbankan, para bankir dan pemerintah sendiri telah terjadi perubahan paradigma dalam memandang perbankan Islam di Indonesia yang selama krisis ternyata sangat tahan dan kebal. Ujian moneter selama krisis tersebut itulah yang sedikitnya membawa implikasi positif bagi sejarah perkembangan perbankan Islam kontemporer di Indonesia.
Kendati Bank Syariah sudah tumbuh dengan positif dan diterima oleh masyarakat dengan baik, kita perlu juga bersikap kritis dalam melihat perkembangan pesat tersebut yang terkesan “mengejar momentum”. Karena sebagai bank yang menggunakan sistim yang bersumber dari ajaran wahyu, taruhan konsekuensi nama Islam menjadi cukup berat. Artinya taruhan nama ‘agama’ ini tidak boleh dijadikan permainan ekonomi oleh para pelaku perbankan – sekedar mengingatkan awal menjamurnya bank konvensional swasta pada dekade 80-an dan 90-an --. Karena jika hal itu terjadi maka implikasi yang harus ditanggung sangat besar dan berisiko bagi eksistensi agama Islam, umat dan ajaran-ajarannya.
Oleh sebab itu, kemunculan banyak lembaga perbankan berlabel syariah (Islam) janganlah hanya karena faktor euphoria reformasi sebagaimana prilaku masyarakat umum saat ini. Akan tetapi memang harus benar-benar karena faktor demand dan faktor keyakinan keberimanan masyarakat dalam menjalankan proses berekonomi secara halal dan bermartabat.
Disamping itu, lembaga perbankan yang menganut sistim syariah tidak serta-merta hanya berorientasi untuk meraup dana dari segmen masyarakat Islam sebanyak-banyaknya tanpa memberi manfaat, syafaat dan implikasi positif kepada usaha peningkatan kesejahteraan umat secara menyeluruh, utamanya dalam pengembangan usaha kecil dan menengah yang mayoritasnya dimiliki umat Islam. Kita tidak mau menyaksikan bank syariah hanya jadi lembaga yang pandai meraup uang rakyat tetapi tidak pandai membangun ekonomi rakyat. Dengan kata lain, Bank-Bank Syariah yang sudah ada janganlah hanya pengganti kulit bank-bank yang telah dilikuidasi pada 1997 lalu.
Bagi umat Islam Indonesia bagaimanapun juga, Bank-Bank Syariah yang telah beroperasi di tengah-tengah kehidupannya merupakan gerbang harapan terakhir bagi upaya mengakhiri penderitaan mereka yang sudah cukup lama. Jadi jangan hanya mengejar keuntungan semata dengan fokus pembiayaan pada usaha-usaha skala besar dan menengah saja seperti pada masa Orde Baru dulu. Akan tetapi harus secara serius dan sepenuh hati juga berusaha mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi umat yang berbasis pada usaha kecil dan kecil-bawah.
Hal ini penting diperhatikan, karena kita tidak mau bank syariah sama halnya dengan bank konvensional yang lebih tertarik dan memprioritas untuk mengurus pembiayaan kepada pengusaha besar dari pada ke pengusaha kecil karena gambaran keuntungan bisnis belum jelas. Paling tidak, pengalaman beberapa pengusaha kecil mikro yang pernah mencoba mendapatkan pembiayaan di sebuah bank syariah nasional tidak terulang lagi pada masa mendatang. Kita juga tidak ingin mendengar lagi pengusaha kecil mengeluh akibat rumitnya proses pinjaman pembiayaan dan berbagai praktek lempar sana, lempar sini.  
Saat Mewujudkan Harapan Umat
Perkembangan seperti disebutkan di atas setidaknya menunjukkan bahwa ekonomi Islam (syari’ah) yang bersumber dari wahyu dewasa ini telah menemukan form terbaru dalam kehidupan berekonomi di Indonesia. Karena itu, konsep ekonomi Islam yang akhir-akhir ini telah menjadi bagian penting dari sistim perekonomian masyarakat, hendaknya harus dirawat eksistensinya dan harus pula disikapi secara proaktif oleh seluruh umat Islam. Bagaimanapun, ekonomi Islam utamanya sistim syariah yang dipakai dalam operasionalisasi sistim perbankan nasional telah menjadi bagian yang sangat vital dan strategis bagi denyut gerakan perekonomian masyarakat.
Setidaknya, ada hal-hal yang patut membuat kita bergembira yaitu telah terjadinya perubahan besar persepsi para pengambil kebijakan keuangan dan moneter di Indonesia terhadap sistim perbankan Islam (khususnya BMI) yang berhasil memperlihatkan prestasi gemilang melawan krisis moneter yang dimulai pertengahan 1997. Padahal, keadaan demikian sebelumnya sangat mustahil akan dapat terjadi di negara sekuler seperti Indonesia ini. Barangkali sejarah menghendaki hikmah krisis seperti itu?  
Dimana kalangan pengambil kebijakan perbankan dan para ahli ekonomi sekarang telah merekonstruksi dan mengevaluasi kembali sistim perbankan yang selama ini berjalan dan ternyata telah berakhir dengan sangat tragis dan hampir menumbangkan integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bahwa terbukti sistim ekonomi perbankan (kapitalis) yang diterapkan selama ini ternyata sangat rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi. Sebaliknya sistim perbankan yang merunut pada prinsip Islam (syariah) terbukti pula sangat immunity terhadap hantaman moneter dan gejolak-gejolak ekonomi lainnya.
            Oleh sebab itu, pada masa-masa mendatang lembaga perbankan syariah diharapkan juga mampu membangun gerakan ekonomi rakyat yang kuat dan handal sesuai prinsip-prinsip yang diyakini umat. Tanpa ada usaha memberdayakan ekonomi rakyat yang serius, utamanya ekonomi umat muslimin yang berbasis lokal dan grassrot, maka kehadiran lembaga perbankan syariah yang sudah mewarnai perekonomian nasional akan sia-sia belaka.
Maka dalam upaya mewujudkan harapan umat tersebut, diperlukan usaha sungguh-sungguh dari kalangan perbankan untuk menyusun langkah-langkah, formasi dan model-model hubungan yang sinergi antara Bank-Bank Syariah dengan umat Islam sehingga keduanya saling mendapatkan keuntungan yang berararti. Paling tidak, sebagai langkah awal Bank-Bank Syariah diminta dapat memperhatikan aspek empowering umat yang masih sesak dalam kantong-kantong kemelaratan.
Tentu saja kepada umat Islam sendiri juga diminta untuk secara tetap menjadi nasabah Bank-Bank Syariah yang dengan susah payah telah hadir di negeri ini. Bahkan kalau perlu secara massal umat muslim Indonesia pindah menabung dari Bank-Bank konvensional ke Bank-Bank Syariah. Mengapa tidak? Wallahua’alam bis sawab.
Oleh : Baihaqi Abd. Madjid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar