Jual Beli Secara Kredit
Bu Herlini yang dimuliakan Allah, saya mempunyai usaha jual beli barang keperluan rumah tangga secara kredit, seperti kulkas, blender, dan sebagainya. Usaha ini sudah berjalan 2 tahun dan lancar-lancar saja.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana jual beli barang secara kredit? Dalam syari’at, apakah ada aturan berapa keuntungan yang seharusnya diambil untuk pembelian secara cash maupun kredit? Dan terakhir, bagaimana Islam mengatur masalah jual beli?
Felya, Jakarta
Jawab :
Bu Felya yang dirahmati Allah, Islam memang telah mengatur
masalah jual beli, perdagangan, perniagaan, kontrak transaksi, begitu juga dengan kredit. Untuk istilah kredit dikenal dengan bai’ bi at-taqshid atau bai’ bi atstsaman ‘ajil artinya menjual barang dengan harga yang berbeda antara tunai dengan tenggang waktu. Di dalam Islam hal ini tidaklah dilarang. Seorang muslim diperbolehkan membeli/menjual secara kontan dan boleh juga membeli/menjual dengan menangguhkan pembayaran hingga batas waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bahkan Rasulullah saw sendiri pernah membeli makanan dari seorang yahudi secara tempo untuk nafkah keluarganya dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana jual beli barang secara kredit? Dalam syari’at, apakah ada aturan berapa keuntungan yang seharusnya diambil untuk pembelian secara cash maupun kredit? Dan terakhir, bagaimana Islam mengatur masalah jual beli?
Felya, Jakarta
Jawab :
Bu Felya yang dirahmati Allah, Islam memang telah mengatur
Memang tidak terdapat nash yang
mengharamkan bentuk jual beli kredit seperti ini, maka jumhur ulama memperbolehkannya. Namun ada batasan yang harus di jaga agar tidak jatuh kepada keharaman, yaitu untuk harga harus disepakati di awal transaksi, walaupun pelunasannya dapat dilakukan kemudian (karena kredit). Bila terjadi keterlambatan dalam pelunasan (pembayarannya) maka tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga (bertambah harganya karena keterlambatan pembayaran). Kedua belah pihak juga telah menyepakati pembayaran harga cicilan dan tempo pembayarannya dibatasi.
Mengenai keuntungan, pada dasarnya tidak ada batasan sebab asas jual beli adalah ‘an taradhin (saling ridho) antara kedua belah pihak. Biasanya harga akan berjalan menurut sunnatullah sesuai hukum permintaan dan penawaran. Berapapun keuntungannya masih dibenarkan selama tidak ada unsur kezaliman, misalnya karena banyaknya permintaan dan barang yang tersedia sedikit sehingga harganya menjadi mahal. Yang tidak dibenarkan adalah terdapat ketidak wajaran seperti menimbun barang dan mempermainkan harga. Contohnya, pemilik barang tidak mau menjual barang dagangannya, pada hal masyarakat sangat membutuhkannya. Atau ia simpan dulu sehingga kemudian harga menjadi naik dan ia mendapatkan keuntungan dengan cara yang zalim (menahan/menyimpan barang).
Keuntungan seperti inilah yang tidak dibenarkan.
Jual beli memiliki aturan main di dalam Islam, bahkan Allah telah menegaskan bahwa Dia menghalalkannya dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275), dilakukan dengan suka sama suka (‘an taradhin ) QS. An-Nisa’ : 29.
Bentuk jual beli yang telah ditentukan (sebagaimana yang telah dikemukakan oleh DR. Yusuf Qordhowi dalam buku ‘Halal dan Haram’nya), antara lain :
1-Jual beli barang yang membawa kepada kemaksiatan adalah terlarang (haram), misalnya menjual babi, khamar, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, berhala, salib, patung dan sebagainya. Sabda Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud : Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya. Artinya sesuatu yang telah diharamkan maka tidak boleh ditukar (jual beli) dengan yang lainnya.
2-Transaksi jual beli yang tersamar dan belum jelas hasilnya/barangnya atau barang tersebut tidak dapat diserahkan kepada pembelinya, seperti menjual buah-buahan yang masih di pohon, menjual burung di udara, semuanya itu di haramkan apabila ada unsur penipuan.
3-Islam memberikan kebebasan jual beli pada setiap orang , maka persaingan yang sehat juga dibenarkan. Islam melarang (mengharamkan) sifat egois yang mendorong pedagang untuk menimbun dan mengeksploitasi barang yang dibutuhkan rakyat, sehingga dirinya mendapat keuntungan berlipat ganda karena harga barang menjadi naik.
4-Jual beli yang diberantas Islam adalah membeli/menjual sesuatu yang diketahui sebagai hasil jarahan, curian atau yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan. Sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi : Barang siapa membeli barang curian sedangkan dia tahu bahwa itu hasil curian, maka sesungguhnya dia telah bersekutu dalam dosa dan aibnya.
Untuk lebih jelasnya silahkan lihat bab Muamalah dalam buku fiqih sunnah dan buku fiqih lainnya.
Kerjasama Bisnis
Saya mempunyai rencana untuk membuka usaha di rumah. Karena terbentur pada masalah modal, saya bekerjasama dengan beberapa teman. Bagaimana aturan dalam Islam sehubungan dengan kerja sama dengan orang lain dalam usaha? Dengan modal bersama seperti itu, bagaimana pembagian keuntungan dan kerugian di antara kami?
Sebenarnya saya agak trauma bekerjasama seperti ini. Dulu saya pernah buka usaha bersama teman, dan mengalami kerugian yang mengakibatkan saya dan rekan saya itu terlibat hutang yang cukup besar. Bagaimana mengatasi masalah saya ini ya Bu, soalnya teman saya itu seperti berlepas diri dari hutang-hutang yang ada. Akibatnya saya sendiri yang menanggung hutang tersebut sampai sekarang.
Ghina, Jakarta
Jawab :
Saudari Ghina yang sholihah, prinsip kerjasama dengan orang lain tidak terlepas dari nilai-nilai moral dalam bermualamalah antar manusia yang telah diatur Islam. Hubungan kerja sama tersebut tidak terlepas dari kualitas moral yang tinggi atas ketaatan pada Allah. Sehingga kerja sama dalam usaha tersebut bersifat penuh kejujuran dan I’tikad baik dan ditegakkan pada landasan yang adil dan cara yang benar.
Dalam istilah fiqih bentuk kerjasama antara kedua belah pihak dengan sama-sama menanggung keuntungan dan kerugian dikenal dengan mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modal kepada orang lain). Dan porsentase keuntungan dan kerugian yang harus ditanggung haruslah sesuai dengan kesepakatan mereka.
Jadi kerja sama dalam usaha ini merupakan kerja sama antara dua orang yang berserikat (syirkah). Bila untung, mereka berbagi keuntungan sebagaimana yang telah mereka syaratkan di awal kerja sama tersebut. Bila rugi maka diambil dari keuntungan yang ada. Jika kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan yang ada, maka kerugian itu diambil dari modal menurut besar kecilnya kerugian. Inilah aturan Islam dalam bermuamalah.
Adanya ketentuan keuntungan untuk pemilik modal, tidak lebih dan tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda atau kerugian berlipat, maka cara seperti ini tidaklah sesuai dengan prinsip Islam. Seperti yang Ghina alami, ketika terjadi kerugian, hanya salah satu pihak yang menanggungnya. Oleh karenanya, sebelum bekerja sama buatlah perjanjian terlebih dahulu.
Disepakati berapa besar bagi hasil yang diinginkan atas dasar ridho. Keuntungan dibagi bersama dan kerugian juga ditanggung besama. Inilah prinsip keadilan di dalam ekonomi Islam. Mudah-mudahan setelah menerapkan usaha bagi hasil seperti ini, tidak terjadi lagi kerugian sepihak, dan semoga usaha anda menjadi barokah karena Allah bersama orang yang berserikat, sebagaimana hadits riwayat Abu Daud : Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman : Aku bersama orang yang berkongsi (berserikat) selama seorang di antara mereka tidak berkianat kepada yang lain, dan apabila telah berkhianat yang satu terhadap yang lain, maka Aku akan keluar dari mereka.
Bolehkah ia mengambil keuntungan dengan cara tersebut? (Jual Beli yang dilarang)
Pertanyaan
Asslamualikum wr wb
Saya ingin bertanya, bila ada seseorang bekerja di sebuah perusahaan di bagian pengadaan alat-alat tulis kantor. Alat-alat tulis tersebut dia sediakan untuk keperluan bekerja karyawan yg lain. Ia menawarkan pada sebuah toko yg menjual alat-alat tulis kantor kemudian ia mengadakan perjanjian pada yg punya toko tersebut bila alat-alat tulis tsb dibeli oleh perusahaannya keuntungan dibagi. Pertanyaan saya bolehkah ia mengambil keuntungan dengan cara tersebut? Sementara itu sudah menjadi pekerjaan dia.
Terima kasih.
Jawaban:
Oleh: Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc.MAg.
Wa\'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhuJawabannya adalah tidak boleh.
Jadi karyawan tadi mengambil keuntungan dengan cara tersebut tidak boleh. Lebih-lebih kalau perusahaannya dirugikan, misalnya seperti yang penting dia dapat kesepakatan keuntungan dengan yang punya toko itu. yang penting banyak ya, nggak peduli barangnya bagus atau tidak (Dan biasanya barang di bawah standar-ed). Di sini ada unsur merugikannya juga, jadi perusahaan dirugikan secara langsung karena barangnya tidak standar, karena dia mengejar keuntungan tadi dengan pemilik toko misalkan, ini lebih tidak boleh lagi.
Kalau barangnya itu standar mungkin di toko lain hampir mirip seperti itu, harganya, mutunya dan seterusnya. Jika dia diberi bonus, yang bonusnya itu sedikit ya wajar (dan tidak atas kesepakatan sebelumnya-ed), maklumlah yang sekiranya itu kalau ketahuan majikan misalkan, dia tidak akan marah karena maklum seperti itu Insya Allah tidak masalah. Akan tetapi kalau bonusnya juga gede dan juga kalau ketahuan oleh majikan juga pasti akan marah maka tidak boleh.
Karena memang hukum asalnya pekerjaan dia itu sudah dapat gaji dari tempat dia bekerja (sudah ada gajinya yang jelas). Nah apa saja yang dia peroleh ketika dia bekerja itu hukum asalnya adalah milik majikan, artinya harus dikembalikan ke perusahaan.
Hal ini mirip ketika Rasulullah mengutus seorang petugas untuk menarik zakat. Setelah melaporkan hasil penarikan zakatnya ada barang yang dikhususkan buat dia katanya. Ditanya darimana, katanya ini hadiah dari si fulan, di saat dia menarik untuk mendapat hadiah.
Ditanya oleh Rasulullah seandainya kamu duduk di rumah kamu ada yang memberi hadiah?\" Tidak. Karena bukan milik kamu, kamu bergerak ke sana karena kita yang nyuruh. Berarti harus dikembalikan ikut dalam sejumlah uang tadi itu (artinya hasil kumpulan zakat).
Bisnis BBA dan Rent A Car
1. Bai' atau jual beli adalah akad yang dihalalkan dan disyari'atka Islam. Baik dengan harga tunai atau dengan kredit. Allah swt berfirman:泃?ḳ嵠ǡ?ڳ 泍㳠ǡѸ?
Artinya: ?Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba?(QS al-Baqarah 275).
Namun ada juga jual-beli atau bisnis yang dilarang dalam Islam, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan an-Nasa’i:
Artinya:” Rasulullah saw. melarang penjualan dengan dua transaksi pada satu barang”.
Terkait dengan hadits ini para ulama berselisih dalam penafsirannya, menjadi lima pendapat:
Transaksi jual beli antara harga tunai dan harga kredit berbeda. Dan harga kredit lebih tinggi. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta.
Sama dengan pendapat pertama, tetapi transaksi itu terjadi kemudian berpisah tanpa ada kejelasan mana yang diambil. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta. Keduanya sepakat tanpa menjelaskan transaksi mana yang diambil.
Membeli barang dengan harga tertangguh, dengan syarat barang itu dijual kembali kepadanya secara tunai dengan harga yang lebih rendah.
Dalam transaksi mensyaratkan penjualan lagi. Seperti menjual suatu barang yang tidak ditentukan barangnya dan harganya. Atau ditentukan harga dan barangnya, seperti, saya jual rumah ini satu milyar, dengan syarat engkau jual rumahmu padaku 1,5 milyar, atau engkau belikan untukku rumah lain dengan harga 1,5 milyar.
Mensyaratkan manfaat pada salah seorang diantara yang melakukan transaksi. Misal, saya jual rumah ini dengan syarat saya tinggal dahulu satu tahun.
Transaksi jenis pertama biasa disebut BBA, dan ini disepakati bolehnya oleh ulama. Sedangkan jenis kedua ulama melarangnya, karena ada ketidakjelasan pada transaksi tersebut. Tetapi jika sebelum berpisah ada kejelasan akad, yaitu memilih salah satunya maka boleh, dan itu seperti transaksi pada jenis pertama. Namun demikian kedua transaksi itu dilarang jika barangnya berupa harta riba, misalnya emas, atau perak atau uang.
Transaksi jenis ketiga diharamkan dalam Islam karena ada unsur riba. Dan transaksi ini disebut juga dengan ba?iul ?inah. Dan transaksi jenis keempat juga termasuk yang dilarang dalam Islam karena disebut juga bai?u wa syart. Sedangkan jenis kelima transaksi yang diperselisihkan ulama. Madzhab Malik dan Hambali membolehkannya, sedangkan madzhab Syafi?i melarangnya.
Sedangkan mekanisme BBA yang terjadi di perbankan, fihak bank hanya memberi uang untuk keperluan nasabah. Sedang nasabah itu yang memberi barangnya. Kita harus memahami bahwa bai' adalah akad mu'awadloh (tukar menukar barang dengan uang). Maka barang yang dijual harus sudah menjadi milik penuh (milkiyyah tammah) fihak penjual. Disini bank berposisi sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Untuk pengadaan barang, fihak penjual (bank) bisa mewakilkan kepada calon pembelinya dengan akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing. Dan fihak penjual harus mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar-benar telah dibeli, sebagai contoh dengan ditunjukkanya faktur untuk menghindari kemungkinan barang tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang terjadi dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan resiko calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual beli adalah ketika barang itu sudah diterima oleh fihak pembeli dalam keadaan selamat. Sehingga dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu akad wakalah atau ijaroh antara bank dengan nasabah. Setelah barang telah terbeli maka si bank menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua fihak. Kemudian pembayaran nasabah kepada bank dengan cara kredit atau tidak tunai.
2. Islam telah memberikan keluasan dengan disyari'atkannya akad-akad muamalah yang menjadi kebutuhan manusia dalam memenuhi hajat kehidupanya. Praktek rent a car dengan cara dan mekanisme seperti yang tersebut dalam pertanyaan tidak bisa digolongkan dalam praktek akad yang masyru', bahkan merupakan praktek yang dilarang syara'. Sebab akad tersebut tidak bisa masuk dalam kategori akad apapun yang disyari'atkan.
Kalau akad tersebut dimasukkan dalam kategori ijaroh (akad sewa), maka uang sewa harus jelas kadarnya yang kemudian menjadi milik fihak yang menyewakan. Sedang dalam akad yang ditanyakan, uang lima belas juta dikembalikan utuh.
Kalau akad tersebut dimasukkan dalam kategori Rohn (gadai), maka uang jamian tidak boleh diputar. Sedang dalam akad yang ditanyakan, uang lima belas juta bisa diputar oleh fihak yang menyewakan.
Kalau akad tersebut dimasukkan dalam kategori Mudayanah (pinjaman), maka fihak pemberi pinjaman tidak dibenarkan mengambil faidah atau keuntungan dari pinjaman yang diberikan itu. Padahal dalam akad yang ditanyakan, fihak penyewa mendapatkan faedah berupa pinjaman mobil.
Karena akad yang ditanyakan tidak bisa masuk dalam kategori apapun dari akad yang disyari'atkan, maka hukumnya haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar