1 Agustus 2011

Good Industry, Poor PR


Good Industry, Poor PR
Senin, 20 Desember 2004
Ada yang memilukan ketika kami melakukan riset pasar perbankan syariah di dunia. Dalam website yang dikelola sebuah institusi riset dan pelatihan yang mengkhususkan diri di bidang perbankan dan asuransi syariah yang berbasis di London, dimuat daftar panjang bank-bank syariah di seluruh dunia. Sungguh mengejutkan ternyata dalam daftar tersebut hanya Bank Muamalat Indonesia, Al Barakah Indonesia, dan Dar al Mal Islami Indonesia yang tercantum sebagai bank syariah di Indonesia. Sedangkan untuk Malaysia, daftarnya sangat panjang dan lengkap dengan membedakan antara Islamic banks dan Islamic windows.
Jelas saja daftar itu tidak up-to-date. Al Barakah Indonesia tentu yang dimaksud adalah lembaga keuangan patungan BNI dengan Al Barakah yang telah lama tidak lagi beroperasi.
Dar al Mal al Islami yang dimaksud adalah kantor perwakilan yang di awal tahun 1990-an aktif menjalin komunikasi dengan Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia yang demikian dahsyat sama sekali tidak tergambar. Padahal kenyataannya, saat ini Indonesia adalah negara dengan tingkat pertumbuhan industri perbankan syariah yang paling cepat.
Daftar dalam website sebuah lembaga internasional untuk standardisasi akuntansi dan audit untuk lembaga keuangan Islam (AAOIFI) yang berbasis di Bahrain juga tidak kurang memilukan. Anggota yang berasal dari Indonesia hanya tercatat tiga lembaga, yaitu Bank Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, dan Karim Business Consulting.
Dalam suatu kunjungan bisnis, kami memaparkan perkembangan yang demikian pesat dalam industri perbakan syariah di Indonesia, khususnya bank umum syariah dan unit usaha syariah, banyak di antaranya yang terkejut karena yang tertanam di benak mereka di Indonesia hanya ada dua bank umum syariah dan lebihnya adalah bank perkreditan rakyat syariah. Padahal unit usaha syariah (UUS) jauh lebih kredibel daripada sekadar Islamic windows yang ada di Malaysia. Setiap kantor yang didirikan oleh unit usaha syariah harus diikuti dengan tambahan modal. Setiap UUS memiliki Dewan Pengawas Syariah, pembukuan terpisah, pimpinan cabang terpisah pula.
Hampir di semua seminar internasioanl yang berbicara adalah rekan-rekan Malaysia yang memaparkan keberhasilan Malaysia membangun sistem perbankan syariah. Padahal saat ini pertumbuhannya telah memasuki zona pertumbuhan melambat sedangkan Indonesia berada pada zona pertumbuhan meninggi. Kinerja Bank Islam Malaysia Bhd tingkat keuntungannya (ROA) per Juni 2004 mencapai 1,16 persen (disetahunkan), sedangkan Bank Muamalat Malaysia mencapai 0,1 persen. Padahal di Indonesia, ROA Bank Muamalat Indonesia di atas 2 persen, bahkan BNI Syariah dan Bukopin Syariah berkisar 3 persen. Hampir seluruh UUS saat ini telah menerapkan metode alokasi biaya kantor pusat, termasuk biaya-biaya direksi yang secara proporsional dibebankan kepada UUS.
Memang di sisi aset kita masih tertinggal jauh. Per Juni 2004, Bank Islam Malaysia Bhd telah mencapai 12,9 miliar ringgit Malaysia (Rp 29,8 triliun) dan Bank Muamalat Malaysia mencapai 7,3 miliar ringgit Malaysia (Rp 16,8 triliun). Sedangkan Bank Syariah Mandiri baru melewati angka Rp 6 triliun, Bank Muamalat Indonesia melewati angka Rp 4 triliun, dan BNI Syariah melewati Rp 1 triliun. Ini pun tinggal menunggu waktu saja, diperkirakan akhir 2005 angka Rp 10 triliun dapat dilampaui paling tidak oleh salah satu bank syariah.
Keterwakilan di lembaga internasional pun, kita tertinggal. Baik di IDB, AAOIFI, IIFSB (International Islamic Financial Services Board), IIFM (International Islamic Financial Market), keterwakilan Indonesia hampir identik dengan wakil dari bank sentral, sedangkan Malaysia juga diperkaya dengan wakil dari dunia bisnis. Salah satu di antaranya adalah kolega kami dari satu konsultan asing Big Five yang beroperasi di Malaysia.
Dalam Konferensi Tahunan AAOIFI bulan Februari 2005 yang akan digelar di Bahrain, di mana salah satu pembicaranya dari Malaysia, juga tidak ada satu pun pembicara dari Indonesia. Padahal Indonesia memiliki Dewan Syariah Nasional MUI yang tidak dimiliki Malaysia dengan Dewan Pengawas Syariah hampir seratus orang yang mengawasi puluhan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dewan Syariah di Malaysia yang merupakan bagian internal bank sentralnya tentu tidak dapat disejajarkan dengan DSN MUI, karena secara institusi lebih tepat disejajarkan dengan Komite Ahli Perbankan Syariah yang ada di Bank Indonesia.
Peraturan perbankan syariah di Malaysia dapat dengan mudah diakses dan tersedia dalam bahasa Inggris. Sedangkan Peraturan Bank Indonesia (PBI), meskipun dapat diakses melalui internet, tidak tersedia dalam bahasa Inggris. Begitu pula fatwa-fatwa di Malaysia tersedia dalam bahasa Inggris, sedangkan fatwa DSN MUI hanya tersedia dalam satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Padahal jumlah PBI tentang perbankan syariah dan fatwa DSN jumlahnya jauh lebih banyak.
Hal yang sama terjadi pada industri asuransi syariah dan pasar modal syariah. Kesimpulannya sama saja. It's good business with poor public relation! Industri keuangan syariah di Indonesia memang terlambat memulai, namun perkembangan yang demikian dahsyat tampaknya sama sekali tidak terinformasikan ke dunia luar. Tentu saja Malaysia menikmati advantage of the first mover, karena sebagai yang pertama kali memulai, masyarakat dunia telah mengidentikkan Malaysia sebagai pusat keuangan syariah di Asia Tenggara. Belum lagi peran pemerintah Malaysia yang menjadi public relation officer yang sangat efektif. Tidak sepatutnya kita iri atau menyesali kenapa terlambat memulai. It's the best that will survive, not just being the first.
Lihatlah industri otomotif Jepang yang akhirnya mengalahkan dominasi industri otomotif Amerika dan Eropa. Kerja keras semua pihak dalam industri keuangan syariah harus diikuti dengan upaya public relation yang kuat. Sudah saatnya Bak Indonesia melengkapi upaya sosialisasi domestiknya dengan program public relation ke dunia luar. Cara yang paling mudah adalah mencantumkan syariah banking industry up-date dalam website Bank Indonesia, membantu DSN MUI menerjemahkan fatwa-fatwanya dan meng-upload ke website, selain tentunya menyediakan PBI dalam bahasa Inggris.
Public relation adalah suatu bentuk syiar, bukan riya'. Kita pun tidak perlu sungkan dengan pepatah ''tong kosong nyaring bunyinya'', karena jelas industri keuangan syariah Indonesia bukan tong kosong. Begitupun ilmu padi yang makin berisi makin merunduk karena kita pun jauh dari upaya menyombongkan diri, sekadar tahadust bin ni'mah.
(Adiwarman Karim )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar