Mengapa BBM perlu subsidi? Ada tiga poin di
sini yang perlu kita soroti. Pertama adalah masalah teknologi. Agar BBM ini
bisa ditemukan, diambil dan diolah, diperlukan sejumlah teknologi, yang
faktanya saat ini semuanya dikuasai oleh industri asing. Karena itu, pihak
asing memaksakan sejumlah aturan yang pasti akan menguntungkan mereka, bilamana
Indonesia mau mendayagunakan potensi migasnya. Pada umumnya mereka menginginkan
sistem kontrak bagi hasil, yaitu mereka memasukkan modal terlebih dulu
(investasi), kemudian setelah menghasilkan (operasional), mereka ”dibayar”
dengan bagi hasil BBM yang dihasilkan itu.
Hanya saja kontrak bagi hasil itu berjangka
waktu yang sangat panjang, misalnya 10, 25, atau bahkan 50 tahun. Padahal
barangkali, dengan hanya beberapa tahun saja, investasi mereka sudah akan
kembali. Namun, kalau Indonesia menginginkan skema yang lain, misalnya mereka
hanya dibayar secukupnya saja, atau kita beli saja teknologi mereka secara
langsung lalu kita operasikan sendiri, maka mereka juga akan ”kong-kali-kong”.
Prinsipnya mereka harus untung besar. Inilah fakta yang ada, dan ini semua
berasal dari politik teknologi selama ini yang tidak efektif.
Kedua adalah masalah distribusi. BBM dianggap
merupakan komoditas hajat hidup orang banyak, sehingga harus dibuat murah.
Harga BBM dari pangkalan Pertamina atau SPBU di seluruh Indonesia diharuskan
sama, dan harga ini ditentukan dengan suatu Keputusan Menteri. Namun setiap
orang boleh membeli BBM berapapun banyaknya. Sistem ini mau tidak mau harus
didukung suatu sistem subsidi, setidaknya subsidi silang, karena biaya
penyediaan BBM di tiap daerah sesungguhnya tidak sama. Hasil penjualan
(termasuk ekspor) BBM minimal harus seimbang dengan biaya operasional
pencarian, pengambilan, pengolahan, serta distribusi.
Jadi masalah adalah ketika keseimbangan itu
terganggu. Konsumsi BBM dalam negeri yang disubsidi ini terus meningkat, yang
antara lain disebabkan oleh kebijakan perencanaan wilayah yang tidak optimal
sehingga memancing kebutuhan BBM untuk transportasi yang tinggi. Di sisi lain ketika tiba-tiba terjadi krisis moneter, biaya teknologi dalam rupiah jadi melonjak sementara harga BBM dalam negeri menjadi begitu murah dibanding harga di pasar dunia, sehingga penyelundupan BBM ke luar negeri menjadi bisnis yang amat menggiurkan.
sehingga memancing kebutuhan BBM untuk transportasi yang tinggi. Di sisi lain ketika tiba-tiba terjadi krisis moneter, biaya teknologi dalam rupiah jadi melonjak sementara harga BBM dalam negeri menjadi begitu murah dibanding harga di pasar dunia, sehingga penyelundupan BBM ke luar negeri menjadi bisnis yang amat menggiurkan.
Karena itu politik subsidi BBM memang belum
bisa dibilang adil. Seorang petani yang merasakan subsidi BBM hanya secara tak
langsung — yaitu saat dia bisa membeli pupuk dengan harga lebih murah daripada
bila ongkos angkutan naik — sulit disamakan dengan seorang pedagang minyak yang
memborong ribuan kiloliter BBM untuk diselundupkan ke luar negeri. Karena itu
diperlukan sistem distribusi yang baru untuk ”komoditas hajat hidup orang
banyak” ini.
Ketiga adalah masalah intervensi asing. Di
negara mana pun IMF memang selalu menjadikan penghapusan subsidi sebagai salah
satu cara yang dipandang ampuh dalam menolong perekonomian suatu negara. Dalam
pandangan IMF, ekonomi sebuah negara sama dengan suatu perusahaan. Kesehatan
perusahaan ditentukan oleh surplus atau defisitnya, atau selisih pemasukan
dengan pengeluarannya.
Karena itu, untuk mengurangi defisit,
pemasukan harus ditingkatkan dan pengeluaran harus dikurangi. Peningkatan
pemasukan berarti penaikan tarif pajak, peningkatkan jumlah wajib pajak
(tax-cover-ratio) dan penjualan aset-aset BUMN (privatisasi). Sedang
pengurangan pengeluaran antara lain dengan peningkatan efisiensi birokrasi,
penghematan (rasionalisasi) pembangunan dan penghapusan subsidi secara
bertahap.
Langkah-langkah efisiensi dan rasionalisasi sering tidak mudah dilakukan, dan
kadang berbenturan dengan kepentingan birokrat yang cenderung memandang
proyek-proyek pembangunan sebagai ”lahan basah”. Karena itu yang termudah
adalah penghapusan subsidi. Bila yang disubsidi itu sembako (seperti di
beberapa negara Afrika), maka subsidi sembako itu pula yang dianjurkan dikurangi.
Demikian juga bila subsidi itu pada BBM atau pendidikan atau kesehatan.
Pertanyaannya, mengapa kita perlu memanggil IMF?
Awalnya adalah krisis moneter. Utang kita
bertumpuk. Devisa kita ludes. Investor baru sulit didapatkan bila tidak ada
penjamin, dan IMF adalah penjamin itu. Padahal, krisis moneter terjadi
setidaknya karena adanya beberapa faktor sistemik, seperti sistem ekonomi yang
dianut, termasuk sistem moneter flat-money yang tidak ketat mengacu kepada
suatu standar yang stabil seperti emas/perak, kemudian sistem ekonomi nonriil,
termasuk di antaranya sistem perbankan konvensional yang mendasarkan pada bunga
dan bukan pada bagi hasil atau perdagangan riil, kemudian sistem pasar modal
yang memungkinkan ekonomi tumbuh laksana balon (bubble-economy).
Tentu saja selain faktor sistemik di atas, ada
memang faktor ”orang” yang menyangkut mental para pembuat kebijakan di negara
ini, serta faktor ”budaya” yang membuat ”kegilaan” ini lepas dari kontrol
masyarakat. Budaya kritik dan kontrol sosial kita ‘kan belum benar-benar mapan.
Karena itu, penyelesaian dari permasalahan BBM membutuhkan sejumlah solusi
segar yang menyeluruh. Bahkan barangkali solusi ini membutuhkan paradigma baru
yang segar, dan khazanah syariat Islam ternyata menyediakan solusi menyeluruh yang
segar itu.
Syariat memandang bahwa bahwa pemilik kekayaan
alam yang volumenya sangat besar seperti sumber migas itu adalah rakyat. Negara
hanyalah pengurus amanat rakyat untuk mengelolanya. Hasil migas ini sepenuhnya
untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara adil, misalnya untuk menyelenggarakan
pendidikan, kesehatan, keamanan dan keadilan bagi semua warga secara murah —
bahkan gratis. Jasa-jasa ini memang bukan barang yang langsung bisa diraba,
namun berperan besar bagi berfungsinya suatu masyarakat secara berkelanjutan.
Andaikata negara berkonsentrasi pada pemenuhan
jasa-jasa tersebut, walau BBM dijual dengan harga pasar, orang sudah tidak
begitu pusing memikirkan biaya berobat atau biaya sekolah. Tak akan ada lagi
penyelundupan, dan petani yang sehari-hari memakai kayu bakar akan merasakan
”subsidi” yang sama dengan konglomerat yang menghabiskan 40 liter perhari untuk
mobil mewahnya. Sementara itu barangkali orang-orang jadi akan cenderung
menggunakan kendaraan hemat BBM yang berarti ramah lingkungan, seperti sepeda,
sehingga kualitas lingkungan kita juga akan membaik.
Akses murah untuk pendidikan dan kesehatan
akan membuat masyarakat kita lebih cerdas, lebih berpartisipasi positif dalam
pembangunan, termasuk membuat perencanaan pembangunan yang lebih masuk akal.
Mereka juga akan lebih sulit diprovokasi untuk anarki. Sedang akses murah untuk
keamanan dan keadilan akan membuat penegakan hukum bisa berjalan efektif.
Tentu saja politik distribusi ini harus
disertai dengan syari’at Islam yang lain. Kaidah ushul mengatakan, ma laa
yatimmul wajib illa bihi, fahuwa wajib (apa saja yang diperlukan untuk
menyempurnakan yang wajib, hukumnya wajib pula). Karena itu, bagi kaum muslimin
menguasai teknologi pencarian, pengambilan dan pengolahan BBM itu adalah wajib,
seperti wajibnya shalat atau puasa.
Untuk itu negara harus turun tangan. Iklim
riset dan teknologi harus diciptakan, sehingga para ilmuwan dari seluruh dunia,
apapun agamanya, berdatangan untuk menyumbangkan keahlian mereka. Hal yang
sekarang biasa terlihat di negara-negara maju seperti AS, Eropa atau Jepang ini
dulu juga pernah terjadi pada masa keemasan khilafah Islam.
Sistem ekonomi kita memang harus berganti
paradigma. Sistem moneter berstandar emas/perak, sistem perbankan syari’ah, dan
sistem syirkah syari’ah akan memperkuat kekebalan kita dari krisis moneter
untuk kali kedua. Juga seperangkat hukum Islam lainnya, seperti sistem
penggajian dan evaluasi kinerja penyelenggara negara, akan mampu mencegah
tindakan-tindakan kriminal dari aparat birokrasi. Di samping kontrol sosial
atas penguasa dari masyarakat (amar ma’ruf nahi munkar) yang harus
terus-menerus ditumbuhkan melalui media massa dan aktivitas partai-partai
politik, serta kontrol diri yang ditumbuhkan melalui ibadah ritual yang
disyari’atkan.
Bila semua itu dijalankan, maka kita tidak
perlu menghadapi krisis ekonomi, tidak perlu memanggil IMF, dan tidak perlu
menjadi susah bila BBM memang harganya harus mengikuti pasar.
Sebab itu, mengatasi problema BBM adalah
dengan menerapkan syari’at Islam secara kaffah, yakni syari’at yang menyangkut
pengelolaan sumber daya alam, distribusi kepemilikan umum, teknologi, moneter,
ekonomi perbankan, penyelenggaraan negara sampai amar ma’ruf nahi munkar. Jadi
syari’at yang dimaksud bukan hanya syari’at untuk mengganyang kemaksiatan
seperti perjudian, pelacuran atau minuman keras. Apalagi syari’at sekadar
melakukan shalat dan doa bersama.
Syari’at Islam memang diturunkan Allah — Sang Pembuat alam, kehidupan dan
manusia — untuk membantu mereka, siapapun juga, Muslim ataupun nonmuslim,
bahkan juga binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai solusi problematika mereka,
bukan untuk membebaninya.
oleh: Fahmi Amhar
Penulis, Dosen Pascasarjana Universitas
Paramadina Mulia, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar