29 Juli 2011

Ekonomi Islam Yes, Syariat Islam Nanti Dulu


Republika, Sabtu, 04 September 2004
Ekonomi Islam Yes, Syariat Islam Nanti Dulu
Laporan : siti darojah sri wahyuni
Wacana penerapan syariat Islam menjelang pemilihan presiden September 2004 nyaris tak terdengar lagi. Namun, mencuatnya perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera pada pemilihan legislatif mengundang pertanyaan sebagian orang, terutama kalangan non-Muslim. Adakah negeri ini akan dibawa pada penegakan syariat Islam, bila satu saat, partai yang dimotori kaum muda intelektual Islam itu memenangi pemilu?
Pengamat asing, duta besar, serta minoritas non-Muslim sempat bertanya, syariat Islam seperti apakah yang akan diterapkan nantinya? Tak sedikit yang mendatangi langsung Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, beberapa saat setelah PKS memperoleh suara signifikan.
Minoritas non-Muslim atau kalangan Barat umumnya mempersempit wacana penegakan syariat pada kajian fikih semata. Wacana fikihnya pun dipersempit lagi
menjadi bidang pidana seperti hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, dan qisash atau hukum mati bagi pembunuh. Jika bukan hukum pidana, yang dipermasalahkan adalah masalah gender seputar bolehkan perempuan terjun di dunia publik termasuk politik praktis.
Di kalangan Muslim sendiri, tuntutan penegakan syariat Islam bukan tanpa halangan. Cukup banyak yang keberatan lagi-lagi lantaran alasan fikih semata. Syariat Islam memang jauh lebih luas dari fikih. Syariat adalah nilai dasar yang mengusung ajaran keadilan, kejujuran, pemeliharaan alam, dan lainnya. Sedangkan fikih adalah yang berkaitan dengan hukum perbuatan seseorang. Jika yang dimaksud adalah penerapan nilai dasar, hampir semua setuju. Tapi jika yang dikedepankan adalah hukum fiqh, hampir bisa dipastikan 70 persen umat Islam akan menolaknya.
Namun, penolakan terhadap tuntutan syariat Islam itu menjadi berseberangan dengan pertumbuhan ekonomi Islam. Ilmu ekonomi, pada dasarnya adalah bagian dari syariat Islam. Tapi saat ini, pertumbuhan ekonomi Islam, terutama lembaga keuangan syariah mendapat dukungan banyak pihak, bahkan dari negara.
Untuk mengawasi bank syariah, misalnya, Bank Indonesia membuat Direktorat Perbankan Syariah yang saat ini dikomandani Harisman. Sebelumnya, pengawasan bank syariah baru setingkat biro. Jumlah bank syariah pun meningkat dari semula hanya satu yakni Bank Muamalat Indonesia menjadi 14 bank. Tiga di antaranya berprinsip murni syariah yakni BMI, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Indonesia.
Selebihnya merupakan unit usaha syariah dari bank konvensional. Jumlah itu masih bisa ditambah dengan 86 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Dari sisi aset perbankan syariah kini mencapai satu persen dari total bank di Indonesia. Pertumbuhan rata-rata mencapai 60 persen per tahun.
Pertumbuhan bank syariah mengakibatkan pasar modal dengan prinsip Islami ikut bergerak. Obligasi dan reksadana pun tengah mengalami manisnya angka pertumbuhan. Hampir 15 perusahaan mengeluarkan obligasi syariah karena melihat potensi perkembangan bank syariah yang luar biasa.
Karena pertumbuhan obligasi dan bank yang juga cukup pesat, perusahaan pengelola dana atau fund management mau tak mau ikut meluncurkan produk reksadana syariah. Sebab, peluang bisnis ada. Pasarnya pun amat terbuka. Dikelola Muslim atau bukan, perusahaan fund management pun akhirnya melirik reksadana syariah. September ini saja setidaknya sudah dua perusahaan yang akan meluncurkan produk reksadana syariahnya yakni AAA dan Bhakti Investama.
Tumbuhnya perbankan syariah juga menggerakkan industri asuransi syariah. Menurut Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), M Syakir Sula, terdapat 20 perusahaan asuransi dengan satu di antaranya perusahaan re-asuransi. Kemudian dari beroperasinya asuransi syariah, broker, dan aktuaris pun harus membuka unit syariah.
Pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan syariah mau tak mau memaksa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) harus mencari rumusan kaidah fiqh untuk setiap produk lembaga keuangan syariah. Mazhab, pada pencarian kaidah hukum, bukan lagi pembatas karena toh, setiap produk harus didasarkan pada fatwa DSN. Uniknya, pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang sesungguhnya masih berkait dengan kaidah fiqhiyah merebak di mana-mana. Tak perlu disebut lagi kiprah Malaysia dan Bahrain serta Qatar yang memang menjadi pionir. Di negara-negara tersebut, pertumbuhan ekonomi Islam memang top down. Pemerintah mendukung baru kemudian pelaku bisnis mempraktikkan.
Tapi, di negara Eropa ekonomi syariah justru bottom up (tumbuh dari bawah). Masyarakat melihat ada keunggulan sistem ekonomi tanpa riba. Bahkan, di negara sekutu Amerika seperti Inggris. Bank Sentral Inggris mengizinkan Bank Islam Inggris, beroperasi. Bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki kerajaan Qatar itu dibolehkan beroperasi dengan prinsip sepenuhnya Islami. Belum lagi bank multinasional seperti Citibank, HSBC, dan ABN Amro yang sudah lebih dulu membuka unit syariah.
Jerman dan Kanada juga mengeluarkan obligasi syariah ijarah (sewa-menyewa). Sebuah tindakan bahwa negara ikut mendukung pertumbuhan ekonomi Islam, hanya beberapa tahun setelah WTC hancur. Perkembangan ekonomi tanpa bunga di Eropa menggelontorkan stereotip Islam itu teroris.
Tinggal Amerika. Negeri tersebut semula beranggapan bahwa lembaga keuangan syariah adalah alat pencucian uang kelompok teroris. Kendati lembaga keuangan Islam mulai tumbuh juga. Belakangan, masih dengan anggapan mempelajari lembaga keuangan yang menurutnya merupakan alat pencucian uang kelompok teroris, Departemen Keuangan perlu mengangkat penasihat ahli keuangan Islam. Dr Mahmoud El Gamal, ahli ekonomi Islam dari Universitas Rice diangkat untuk bisa menjelaskan apa itu ekonomi Islam, serta bagaimana lembaga keuangan Islam itu beroperasi.
Di luar Amerika, fenomena mekarnya ekonomi syariah di Indonesia dan di negara luar adalah berseberangan dengan anggapan penolakan syariat Islam secara umum. Stigma teroris yang melekat pada Islam, khusus bab ekonomi tak ada. Siapa pun pemimpin Indonesia yang terpilih harus mendukung ekonomi Islam karena perkembangannya sangat pesat. Tapi, jika dituntut menerapkan syariat Islam sepenuhnya, nanti dulu. Kali ini, kita boleh berkata, ekonomi Islam yes, syariat Islam nanti dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar