29 Juli 2011

Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal

Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal
E-mail

Ditulis oleh M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi   
Sabtu, 21 Mei 2005
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru atau rudal, tetapi dengan wabah kelaparan (Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).


Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme maupun liberalisme adalah kebijakan ekonomi dunia yang berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu sistem ekonomi seperti apa yang bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini. Berharap pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini sendiri sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu: Sistem Ekonomi Islam. Bagaimana sistem ini mampu menjadi lawan seimbang bagi Kapitalisme global?

Kebijakan yang Bertolak Belakang

Secara ideologis Islam dan Kapitalisme bertolak belakang. Islam menjadikan akidah Islam berikut syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya. Sebaliknya, dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam ekonomi. Akibatnya, kebijakan ekonomi kapitalis lebih didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus.

Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal ini?



1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi?

Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) adalah persoalan penting; tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak.
Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak pada masalah distribusi kekayaan. Sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok 6 miliar penduduk dunia. Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya pendistri-busian inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara negara maju dan Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri Islam).

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations Human Development Report, 1999).

Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Peran negara: perlu atau tidak?

Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi di atas, penganut ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Jika harga murah, berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal, berarti produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah alasannya, mengapa negara tidak perlu campur tangan; serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk berkerja.

Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan tiap individu rakyatnya; termasuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy mendasar ekonomi Islam. Bisa jadi seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya, sementara keluarganya tidak cukup untuk membantu.

Di samping itu, negara (Daulah Khilafah Islam) harus berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dan sebagainya.

Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (milkiyah ‘âmah) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas).

3. Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak?

Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas.

Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Karena itu, hasil tambang seperti minyak, emas, perak, dan lain-lain, memang milik umum (milkiyah ‘âmah) dan digunakan untuk kepentingan rakyat.

Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah menyengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terabaikan. Beban mereka semakin berat akibat negara lepas tangan. Biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal akibat diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi).

4. Pasar bebas atau tidak?

Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya, masih menurut ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).

Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung; negara terbelakang hanya jadi obyek dalam pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal besar.

Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah ‘âmah) seperti minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara terbelakang akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.

Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri.

Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas antar rakyat (warga) negara Daulah Khilafah sendiri. Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya saja, aktivitas ini tetap membutuhkan pengarahan secara umum agar tiap individu yang melakukan perdagangan terikat pada hukum syariat dalam jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar (Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm. 325). Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini negara tidak boleh mematok harga tertentu untuk barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan kepada pasar.

Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antara bangsa dan umat. Oleh karena itu, negara akan campur tangan. Hubungan-hubungan antarbangsa seperti ini harus tunduk pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung. Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas. Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan komiditi lain sesuai dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu saja akan melarang warganya yang menjual senjata kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi untuk menguasai sektor-sektor yang berhubungan dengan pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas. Perusahan-perusahan multinasional tidak akan dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber alam negara Khilafah.

Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis kafir harbi atau mu’âhad. Sebab, prinsip yang diadopsi oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini adalah prinsip asal-muasal (kewarganegaraan) pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal ini, Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara yang memerangi kaum Muslim secara langsung (muhâriban fi’lan) seperti AS, Inggris, dan Israel. Intervensi negara tersebut bukan sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik sekaligus mengembang dakwah.

Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap perdagangan yang justru memberikan jalan bagi pihak luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti yang terjadi sekarang ini. Setiap warga negara berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak bergantung pada produk-produk asing yang mengancam kemandirian negara. Warganegara didorong untuk memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara boleh memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya barang-barang yang justru mengancam industri dalam negeri seperti dalam bidang pertanian.

5. Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak?

Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi neo-liberal ditujukan untuk mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar negara di seluruh dunia (Singh, Memahami Globalisasi Keuangan, 1998).

Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara miskin sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu. Banyak pihak yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang Indonesia, merupakan permainan para spekulan internasional ini.

Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional. AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia internasional.

Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem mata uang dengan standar emas dan perak, bukan dolar. Dengan demikian, sistem moneter internasional akan terjadi secara adil. Siapapun yang ingin mencetak uang kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal mencetak uang kertas, sementara negara lain harus melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan uang kertas dalam jumlah yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar penyebab inflasi.

6. Ihwal privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN sesungguh-nya menjadi agenda utama kebijakan ekonomi neo-liberal. Tentu saja hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat oleh perusahaan swasta, terutama perusahaan transnasional. Kekayaan yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis justru jatuh ke individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup miskin.

Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah:

(1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dan lain-lain);

(2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya;

(3) barang tambang yang depositnya melimpah dalam jumlah besar seperti sumberdaya mineral (garam, besi, emas, perak, timah dan lain-lain).

Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta (seperti perusahan multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara hanya mengelolanya saja; hasil pendapatannya diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa banyaknya sumber kas Baitul Mal.

Agenda ke Depan

Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus dijalankan secara komprehensif. Karena itu, agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik untuk itu, yaitu Daulah Khilafah Islam. Negara global inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi dan kerakusan negara-negara kapitalis lewat kebajikan ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia saat ini.

Wallâhu a’lam.

Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.

Komentar
Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal
Ditulis oleh andalusia20002000 pada 2005-06-09 17:19:57

Assalamualikum.
Mengomentari Pendapat anda tentang Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal,setahu saya sistim Ekonomi hanya ada dua MAZHAB :
1.EKONOMI KAPITALISME
2.EKONOMI SOSIALISME.
Kalaupun mau ditambah maka adalah EKONOMI CAMPURAN KAPITALISME DAN SOSIALISME(MIXED ECONOMY).
Jadi Tidak Ada EKONOMI ISLAM yang betul adalah Pelaku KONOMI ada yang beragama ISLAM.
Pada Zaman Rasululah dan Khalifah(dinasti) ISLAM yang diterapkan adalah Ekonomi Kapitalisme sub Merkantalisme(PERDAGANGAN),Merkantalisme ini anak Kapitalisme yang Juga Kejam bahkan Sampai menjual Orang (PERBUDAKAN),smapi sekarang Sisa sisa Merkantalisme yang Brengsek itu masih Ada di TIMUR TENGAH/ARAB yaitu apa yang kita kenal dengan KASUS TKW Indonesia.
Jadi Jangan terlalu pro ARAB,karena kita bisa Islam Juga tanpa bantuan Orang ARAB,mereka banyak Munafik buktinya di Saudi/TIMUR TENGAH malahsana RAJA RAJA MINYAKNYA mereka Uangnya di tabung di CITY BANK dan di BANK2 EROPA karena dapet Bunga(rente)tinggi dan Anda tahu Bank Eropa2 dan Amerika Minjemin itu duit ke DUNIA KE TIGA dengan rente Yang Mahal.
WASALAM
Paradigma Sistem Ekonomi Islam
E-mail


Ditulis oleh Muhammad Ismail Yusanto   
Rabu, 02 Juni 2004
Sistem ekonomi Islam terlahir dari sebuah paradigma -- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kerangka berfikir -- Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia, sebelum dunia dan kehidupan setelahnya serta kaitan (hubungan) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran menyeluruh itu menjawab tiga pertanyaan besar: dari mana alam semesta, manusia dan kehidupan ini berasal? untuk apa diciptakan? dan kemana semua itu menuju setelah berakhir nanti? Tiga pertanyaan ini disebut oleh Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Islam sebagai al-‘uqdatu al-kubra (simpul besar). Disebut simpul besar karena bila tiga pertanyaan ini terjawab secara tuntas, memuaskan akal, sesuai dengan fitrah manusia dan karenanya menentramkan jiwa, maka akan terurailah pertanyaan-pertanyaan cabang berikutnya. Misalnya, tentang bagaimana manusia harus mencari nafkah, mencukupi kebutuhannya, bagaimana pula cara memanfaatkan hartanya dan sebagainya.

            Tiga pertanyaan tersebut, menurut Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab Al-Tafkir, wajar belaka mengingat manusia memang hidup di dunia (yahya fi al-kawni), lalu cepat atau lambat, satu persatu atau berbarengan akan meninggal. Sesuai fitrahnya sebagai makhluk yang berakal, manusia akan terdorong berfikir tentang asal muasal kehidupan, alam di sekitarnya, serta hakekat kehidupannya di dunia ini (ma’na wujudi al-hayati al-dunya).

Jawaban atas tiga pertanyaan mendasar ini menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena mencakup semua perkara yang maujud (alam, kehidupan dan manusia) dari tiga fase kehidupan (sebelum kehidupan dunia, kehidupan dunia dan sesudahnya) yang dilalui manusia, termasuk hubungan antara tiga fase tersebut. Fikrah kulliyah ‘ani al-kawn wa al-insan wa al-hayat (pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan) disebut juga aqidah (pemikiran yang mendasar) yang berperan sebagai qaidah fikriyah (landasan pemikiran) karena ia menjadi basis pemikiran yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran cabang.

            Paradigma sebagai sebuah sistem berfikir yang paling mendasar bagi sebuah tatanan kehidupan bagaikan inti dari sebuah barang, akar dari sebuah pohon atau fondasi dari sebuah bangunan. Jadi sangat menentukan, bahkan ia merupakan pusat dari daya hidup sistem yang terlahir darinya. Maka, tak akan ada pohon tanpa akar, bangunan tanpa pondasi, dan tidak ada sistem, termasuk sistem ekonomi, tanpa paradigma.

Paradigma Islam

Menurut keyakinan Islam yang bersumber dari wahyu, alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan ciptakan Allah, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (ma qabla hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Allah lah dzat yang menciptakan alam semesta ini. Menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah. Manusia hidup dalam kurun waktu tertentu kemudian mati, dan akan kembali kepada-Nya (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un).

Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam al-Fairuz Abadi, artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat fi al-Fikri al-Islami, memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum – inilah yang dimaksud oleh ayat 56 dari surah al-Dzariaat – adalah mentaati segala ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah berarti tiap kegiatan ritual sebagai pelaksanaan syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya (ibadah mahdah).

Islam juga meyakini bahwa suatu saat nanti akan ada hari kiamat (yaumu al-qiyamah) sebagai yakni akhir dari semua kehidupan. Setelah itu manusia akan dibangkitkan kembali, dihisab (diperhitungkan) oleh Allah segala amal perbuatannya selama hidup di dunia, dan berdasarkan timbangan amalnya itu manusia akan ditempatkan di sorga atau neraka. Oleh karena itu, kehidupan dunia yang sangat sementara ini bagi seorang muslim sangatlah penting. Ia bukan hanya sekadar kehidupan, tapi – seperti kata Rasulullah – merupakan tempat bertanam untuk dituai hasilnya nanti di akhirat (al-dunya mazra’atu al-akhirah). Keimanan kepada Allah dan ketundukan kepada syariat-Nya merupakan pintu satu-satunya untuk menggapai kebahagiaan yang kekal di akhirat. Maka, syariat dalam kehidupan seorang muslim bersifat sentral. Ia bukan hanya dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah untuknya, tapi secara operasional juga merupakan pemecah problema kehidupan manusia (mu’alajah li masyakili hayati al-insani) dalam setiap aspek.

Kehidupan dunia juga tidaklah berdiri sendiri. Ia mempunyai hubungan dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya ada dua: Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalq) dimana alam semesta, manusia dan kehidupan ini diciptakan oleh Allah. Allahlah dzat yang berada di balik semua makhluknya. Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Dalam al-Qur’an surah al-A’raaf ayat 74 disebutkan (artinya):  “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Hak memerintah pada Allah terwujud dalam bentuk perintah untuk alam semesta (al-amru al-kawni) berupa ketentuan-ketentuan yang mengatur bekerjanya alam semesta ini, dan perintah hukum syara’ (al-amru al-tasyri’i) berupa hukum syariah yang mengatur peri kehidupan manusia dalam semua aspeknya. Jadi, jelas sekali bahwa Allah tidaklah sekadar menciptakan, tapi juga menetapkan aturan berupa sunnatullah (atau nizhamu al-wujud) dan nizamu al-hayah (sistem kehidupan) yang harus diikuti oleh manusia berupa serangkaian perintah dan larangan yang termaktub dalam wahyu Allah berupa al-Qur’an dan al-Hadits yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Serangkaian perintah dan larangan inilah yang disebut sebagai syariah.

Hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada setelah kehidupan dunia ada dua: Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur), yaitu bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kubur dan akan mengumpulkannya di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), yaitu bahwa Allah tidak sekadar membangkitkan manusia dan mengumpulkannya di Padang Mahsyar, tapi juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap semua amal manusia tatkala hidup di dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak. Yang beriman disebut mukmin, yang tidak disebut kafir. Bila beriman, dilihat apakah ia ketika hidup di dunia tunduk melaksanakan syariah atau tidak. Yang tunduk disebut atau muttaqin (orang yang bertaqwa). Sementara yang mengabaikan syariah (melakukan yang dilarang atau mengabaikan yang diwajibkan) disebut fasiqin (pelaku maksiyat).

Sesuai janji Allah, orang kafir pasti akan ditempatkan kekal di neraka. Orang-orang yang beriman dan taat akan kekal hidup dalam naungan ridha Allah di sorga. Sementara, orang-orang yang beriman tapi bergelimang maksiyat akan mendapatkan ganjaran yang setimpal di neraka sebelum akhirnya hidup kekal di sorga.

Paradigma Sistem Ekonomi Islam

Paradigma sistem ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam sebagaimana diuraikan secara ringkas di atas, karena paradigma sistem ekonomi Islam  berpangkal, dan memang harus berpangkal, pada paradigma Islam itu sendiri. Paradigma Islam merupakan sumber dari paradigma sistem ekonomi Islam. Maka, mustahil membangun paradigma sistem ekonomi Islam tanpa memperhatikan paradigma Islam.
Risalah Islam diturunkan Allah dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan sekadar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan kebahagiaan (al-hasanat) di dunia dan akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi yang hendak diwujudkan oleh manusia. Oleh karena itu, Islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat dan pemikiran Islam serta hukum Islam. Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’ sebagai undang-undang yang membolehkan apa yang dibolehkan Islam dan membatasi apa yang harus dibatasi. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak berhenti di dunia saja, tapi sampai ke negeri akhirat karena semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sana kelak.

            Keyakinan Islam juga mengatakan bahwa syariah pastilah membawa rahmah. Artinya, di dalam syariat pasti terkandung kebaikan-kebaikan. Bila syariah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka kebaikan-kebaikan itu akan dirasakan baik oleh individu maupun masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah (al-hasan ma hassanahu al-syar’u, al-qabih ma qabbahahu al-syar’u). Jadi, melaksanakan sistem ekonomi Islam berarti adalah melaksanakan syariah Islam di bidang ekonomi. Dan agar syariah dapat selalu menjawab tantangan perkembangan ekonomi, ijtihad di bidang ekonomi, khususnya tentang perkara-perkara baru seperti tentang kartu kredit, smart card, e-commerce, dan sebagainya harus terus dilakukan.

Dari paradigma utama di atas, bisa dibuat paradigma turunan (derivat) untuk berbagai aspek dalam ekonomi, di samping dengan paradigma itu juga mampu menyelesaikan sejumlah dikotomi yang selama ini terjadi dalam sistem ekonomi yang berjalan, di antaranya:

Paradigma Kepemilikan

            Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah (24:33). Dan harta yang dipunyai manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya (57:7). Kata rizki sendiri artinya memang pemberian (‘atho`). Oleh karenanya, harta semestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki harta itu. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa di alam akherat nanti Allah akan menanyai manusia 4 hal: tentang umur, badan, ilmu dan harta. Menariknya, untuk tiga hal pertama hanya ditanyakan satu perkara: untuk apa dimanfaatkan. Tapi menyangkut harta ditanyakan dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Di sinilah pentingya Islam mengatur masalah kepemilikan (macam kepemilikan, sebab-sebab didapatkannya kepemilikan), pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara manusia.

Pandangan Islam berbeda dengan paham kapitalisme, yang menganggap harta sepenuhnya adalah milik manusia karena manusia yang mengusahakan, dan oleh karenanya manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang dianggap bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan hartanya. Pandangan Islam juga berbeda dengan sosialisme, yang kebalikan dari sistem kapitalisme, tidak mengakui kepemilikan individu. Sosialisme mematikan kreatifitas manusia. Dimensi individual dan motif-motif manusiawi dihilangkan. Akibatnya, dorongan pencapaian pribadi menjadi tidak ada. Tidak ada gairah kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan secara drastis produktivitas masyarakat secara umum.

Paradigma Uang

Islam membedakan antara money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedang capital  sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat, maka  penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian maka akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, dishadaqahkan atau dipinjam(qard)kan tanpa memungut riba, dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syirkah, yakni berbisnis dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syirkah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.

Islam tidak mengenal motif money demand for speculation, karena spekulasi (maysir) dilarang. Dan kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta (capital) sebagai obyek zakat. Konsep ini  jelas sangat berlawanan dengan konsep konvensional, dimana money (dan juga capital) dipandang semua sebagai private goods. Baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, capital  harus menghasilkan uang. Dalam kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi (sektor non riil), cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi.
Ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Allais Maurice, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1997, yang melibatkan 21 negara besar, menunjukkan bahwa uang yang beredar di masyarakat (sebagai private goods) jauh lebih banyak dari pada yang berputar di sektor riil (sebagai public goods). Hal ini membuat fungsi uang sebagai lokomotif penggerak kegiatan ekonomi tidak lagi efektif dan berubah fungsi menjadi komoditas.

Antara Kepentingan Individu dan Kolektif

Dr. Samih Athif al-Zain dalam kitab Al-Islam Khuthutun ‘Aridhah: al-Hukm, al-Ijtima’, al-Iqtishad, menyatakan bahwa ekonomi dalam Islam ditegakkan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat; bukan manusia sebagai individu serta bukan pula yang terasing atau individu yang hidup dalam masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apa pun. Jadi, ekonomi bagi manusia bukan bagi individu, dan bagi masyarakat bukan bagi kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tapi menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, bila Islam mengharamkan memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras atau seks bebas, bukanlah dipandang sebagai masalah individu serta bagaimana memenuhi hasrat akan minuman dan seks bebas itu, melainkan dipandang sebagai masalah manusia yang hidup di tengah masyarakat. Islam tahu (karena Sang Pencipta yang menetapkan) miras dan seks bebas pasti akan berakibat buruk bagi manusia (kendati beberapa individu gemar melakukan), yang tentu akan tidak baik pula untuk masyarakat – sesuatu yang sekarang makin terbukti (misalnya lewat kasus Jenderal Tampubolon yang dibunuh oleh segerombolan pemuda teler setelah menenggak miras dan AIDS yang kini telah menjadi ancaman mondial). Oleh karenanya, dalam sistem ekonomi Islam barang-barang itu tidak dianggap sebagai materi ekonomi.

Antara Kebutuhan Material dan Pemenuhan Hasrat Spiritual

Sistem ekonomi Islam adalah juga sebuah sistem yang memiliki nilai ruhiah, karena secara inheren sekiranya dilaksanakan, otomatis terkandung pula ketundukan kita sebagai seorang muslim kepada Sang Khaliq, karena sistem itu memang datang dari-Nya. Dalam sistem ekonomi Islam, dikotomi antara pemenuhan kebutuhan material di satu sisi dengan kepuasan spiritual di sisi lain yang selama ini dirasakan dalam kegiatan ekonomi kapitalistik, tidak akan terjadi. Kegiatan dalam sistem ekonomi sekuler tersebut memang tidak berbasis syariah, malah kadang bertentangan dengan syariah, sementara secara fitri manusia memerlukan kepuasan spiritual yang terujud dalam ekstase ruhani saat dia merasa mendapatkan keridhaan Sang Pencipta dalam setiap aktivitas hidupnya. Ketika seorang muslim berdagang misalnya, atau negara mengelola sumber daya alam, dan itu dilakukan sesuai syariah, maka disamping mendapatkan   keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual.

Munculnya krisis spiritualitas di sejumlah negara-negara industri seperti Jepang dan AS, yang ditandai dengan maraknya sekte-sekte keagamaan semacam Aum Sinkrio, yang sangat tidak rasional di tengah masyarakat yang secara sains sangat rasional itu, merupakan bukti yang sangat nyata kegagalan sistem ekonomi kapitalis mewujudkan pemenuhan kebutuhan material dan dahaga spiritual secara sekaligus.

Khatimah

Sebagai sebuah sistem, sistem ekonomi Islam memang belum terujud secara faktual, tapi secara konseptual sangat menjanjikan. Secara imani, tentu kita sangat yakin bahwa ia pasti akan muncul sebagai satu-satunya sistem yang mampu memenuhi semua harapan manusia, karena Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia, termasuk non-muslim sekali pun. Maka, mengkaji sistem ekonomi Islam secara intens lalu mewujudkannya dalam realitas kehidupan masyarakat merupakan perkara yang amat urgen.

Tetap ngotot bertahan pada sistem ekonomi kapitalistik seperti yang sekarang tengah berjalan, hanya akan makin menjerumuskan manusia pada jurang nestapa: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik, proses dehumanisasi yang mengerikan, serta makin menjauhkan kita dari tujuan-tujuan mulia berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai hamba Allah di dunia. [  ]

Wallahu a’ lam  bi al-shawab
Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.


Tantangan Dinarisasi
E-mail

Ditulis oleh Zaim Saidi   
Rabu, 02 Juni 2004
Meski tidak secara eksplisit, Dodik Siswantoro dalam opininya, Dolarisasi Versus Dinarisasi (Republika, 2/7), tampaknya ingin ikut mempromosikan dinar emas sebagai alternatif sistem moneter dunia. Selain tidak eksplisit, tulisan Dodik juga belum disertai argumentasi yang meyakinkan. Pada akhir tulisannya secara retorik Dodik bahkan mempertanyakan strategi yang sarat ''dengan romantisme sejarah'' ini.
Tulisan berikut merupakan tanggapan dan catatan bagi Dodik bahwa dinarisasi (istilah Dodik) adalah strategi yang tepat dalam menghadapi dolarisasi yang merugikan banyak pihak tersebut.

Pertama, strategi dinarisasi tidak semata-mata berdasarkan romantisme sejarah dan tradisi masa lampau. Dinar emas, beserta ''pasangannya'' dirham perak, pantas untuk dikembalikan karena merupakan antidote ampuh sistem riba yang merajalela karena sistem ribawi yang ditopang oleh segi tiga kaki ''uang kertas-bunga-dan utang''.

Memang untuk memahaminya kita perlu melongok sejarah sebentar. Kemunduran banyak negara Islam, dan kehancurannya di kemudian hari, diawali dengan ditinggalkannya pemakaian uang emas dan perak. Uang kertas yang menggantikannya yang, secara inheren, membawa riba dan kezaliman adalah instrumen ampuh musuh-musuh Islam dalam menaklukkannya. Ketika imperialisme dan kolonialisme politik atas bangsa-bangsa Muslim berakhir di awal abad ke-20, dimulailah imperialisme dan kolonialisme ekonomi dan finansial yang jauh lebih dahsyat kekuatannya itu, sampai detik ini.

Uang kertas adalah alat politik penaklukan yang kekuatannya melampaui senjata fisik apa pun. Dengan sistem perbankan (pembangunan) sebagai kuda troya, uang kertas memungkinkan politik utang dalam sistem ribawi yang diterapkan oleh Barat untuk menjerat negeri-negeri Muslim sangat efektif. Saksikanlah kemerdekaan politik Tunisia, Mesir, bahkan daulah Utsmaniah di Eropa, di abad ke-19 itu, digantikan oleh penjajahan kembali melalui utang. Persis seperti yang kita alami hari-hari ini, jeratan utang IMF dan Bank Dunia telah menafikan sama sekali makna kemerdekaan politik kita sebagai bangsa berdaulat, bukan?

Marilah kita sederhanakan masalah ini barang sedikit. Apa yang membedakan selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta, berwarna merah, yang bernilai Rp 100.000, dengan selembar kertas lain bergambar Kapitan Pattimura, berwarna biru, bernilai Rp 1000? Seorang murid kelas 3 SD pun memberikan jawaban: gambarnya! Mengapa lembar yang pertama lantas bernilai seratus kali yang kedua? Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan atas selembar kertas lain, berwana abu-abu kehijauan, yang bernilai 1 US$. Mengapa nilainya menjadi 10.000 kali satu unit mata uang kita yang bernama rupiah ini?

Semua itu terjadi karena uang kertas adalah artifisial. Keberadaannya, tinggi rendah nilainya, sah-tidaknya, ditentukan oleh satu pihak tertentu. Dulu ketika negara masih kuat politik (ke-)uang(-an) semuanya ditentukan oleh bank sentral, tapi kini ketika kedaulatan negara semakin tipis, oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Uang kertas yang dapat diciptakan -- secara harfiah maupun dalam sistem sirkulasi -- setiap saat ini menjadi mesin utang yang tak kenal berhenti berputar. Megaproyek semerusak apa pun, dalam ekonomi busa (bubble economy) sebesar apa pun, dapat terus dipacu. Dan untuk mencegah keruntuhannya, sambil pada saat yang sama mereguk keuntungan sebesarnya, sistem utang-piutang (pembangunan) ribawi yang zalim ini pantang berhenti.

Sebaliknya, mata uang bimetal, emas dan perak, adalah uang yang mengikuti fitrah. Tak sebuah pun negara, termasuk daulah Islam di bawah Nabi Muhammad SAW maupun para khalifahnya, perlu merumuskan undang-undang khusus untuk menetapkan sistem ini. Bahkan, dalam prakteknya, sistem bimetal tidak memerlukan satu aturan atau sistem pengendalian pun. Yang diperlukan bagi berlakunya sistem mata uang bimetal hanyalah kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki dan menggunakannya, baik sebagai komoditas maupun alat tukar (uang). Berdasar pengalaman ribuan tahun, secara alamiah, umat manusia menemukan emas dan perak, di antara beragam pilihan komoditas yang pernah dicoba, sebagai mata uang yang paling pas dan cocok.

Genggamlah sekeping koin dinar emas atau dirham perak di tangan Anda. Timbang dan bawalah ke manapun Anda pergi, ke London, New York, Paris, Tokyo, atau Jakarta. Sekeping dinar tetaplah 4.25 g emas 22 karat, dan sekeping dirham adalah 3 g perak murni. Bahkan bila
gambar dan coraknya Anda ubah-ubah, bertuliskan kalimah syahadah maupun bergambar Soekarno-Hatta atau George Washington, nilainya akan tetap. Emas Cikotok sama bermutu dan nilainya dengan emas Inggris atau Afrika Selatan. Maka, emas dan perak, dinar dan dirham, tidak mungkin bisa dimanipulasi oleh negara ataupun lembaga keuangan internasional mana pun -- kecuali dipalsukan.

Kedua, sekali dinar dan dirham kembali dipakai oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini, sebagian besar persoalan umat manusia tidak mustahil akan terselesaikan dengan sendirinya. Kalau saja bangsa-bangsa di dunia saat ini mendukung dan mengikuti kepemimpinan PM Malaysia, Mahathir Muhammad, memakai dinar dan dirham dalam perdagangan internasional, posisi tawar negara-negara pengutang akan naik. Kekuatan ekonomi dan finansialnya akan berangsur pulih. Kurs mata uang tidak lagi jadi persoalan. Pertukaran harta, minyak, kayu, barang pertanian, tambang, dan sebagainya dari negeri-negeri ini bahkan akan diperoleh kembali dalam bentuk harta lain, berupa emas dan perak. Kolonialisme dan imperialisme melalui politik utang seketika akan dapat kita hapuskan. Pada saat yang sama sebagai mata uang yang tak mengenal batas negara dan kebangsaan, dinar akan mempersatukan umat seluruh dunia.

Ketiga, para pendukung dinarisasi telah menyusun strategi implementasi sampai pada tingkat yang praktis. Berbagai kelompok masyarakat telah mengamalkan pemakaian dinar dan dirham di lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia. Pencetakan koin-koin emas ini terus bertambah setiap harinya. Standarisasi tentang spesifikasi dinar emas ini pun telah disepakati sesuai usulan WITO (World Islamic Trading Organization).
Sementara itu, strategi struktural oleh negara terus dilanjutkan oleh Malaysia. Pemerintahan Mahathir maju terus dalam soal dinarisasi ini. Langkah terbaru Mahathir adalah menyelenggarakan Konperensi Internasional ''Dinar Emas dalam Perdagangan Multilateral'', yang akan diselenggarakan oleh Institute of Islamic Understanding (IKIM), Malaysia, pada 22-23 Oktober 2002, di Kuala Lumpur. Konperensi ini akan menandai kesiapan teknis implementasi dinarisasi dalam perdagangan internasional dengan pemerintah Malaysia sebagai lokomotifnya.

Di luar ketiga argumen rasional di atas dapat ditambahkan argumen keempat, yakni tuntutan hukum Islam. Sebagaimana diisyaratkan oleh ulama Taqyudin An-Nabhani, memakai dinar emas berarti mengamalkan hukum syari'ah. Sebab uang dalam Islam, sebagaimana ibadah dan muamalah lain, berhubungan dan terikat dengan hukum syara'.
Keharaman menimbunnya, kewajiban mengeluarkan zakatnya, adanya hukum-hukum pertukaranmya, diamnya rasul untuk melakukan transaksi dengannya, serta keterkaitannnya dengan diyat dan potong tangan dalam pencurian, telah menjadikan uang sebagai suatu masalah -- yang pendapat atasnya sangat tergantung kepada nash syara'. Dan, sebagaimana kita pahami bersama, syara' menyatakan uang dengan hukum-hukum yang terkait dengan semua itu adalah dalam bentuk emas dan perak. Ini membuktikan bahwa uang dalam Islam harus berupa emas dan perak.

Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.




Sistem Dinar Emas: Solusi untuk Perbankan Syariah
E-mail

Ditulis oleh Cecep Maskanul Hakim   
Rabu, 02 Juni 2004
I. PENDAHULUAN

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan Asia telah berlanjut memasuki tahun ke 3. Belum ada tanda-tanda bahwa krisis di kawasan ini akan pulih, meskipun Indonesia yang dianggap sebagai salah satu daerah penggerak ekonomi kawasan Asia Tenggara telah dianggap sukses melaksanakan pemilihan umum, tanpa diwarnai kekerasan. Sebagaimana dimaklumi, krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia ini berawal dari krisis nilai tukar mata uang, yaitu semakin kuatnya mata uang asing -khususnya dollar Amerika- terhadap mata uang domestik. Akibatnya harga-harga meningkat secara berlipat karena struktur ekonomi Indonesia didominasi impor, baik bahan baku maupun barang jadi. Di bidang jasa keuanganpun demikian, dan tingkat suku bunga meroket sehingga pada puncaknya pernah mencapai 90%. Dunia usaha macet, tingkat pengangguran semakin besar, inflasi meninggi, pertumbuhan negatif dan seterusnya.

Banyak orang gusar mengapa sebuah perekonomian harus terpuruk hanya karena nilai mata uang yang berubah. Sehingga ditengah krisis pernah ada usulan untuk mengikat (peg) rupiah kepada beberapa mata uang asing, yang lazim disebut CBS (Currency Board System). Namun karena sebelumnya Indonesia telah menandatangani Letter of Intent dengan IMF, yang mensyaratkan diantaranya bahwa Indonesia harus menganut sistem (rezim) devisa bebas, maka ide tentang CBS tidak diterima. Padahal sistem itu sudah dipraktekkan oleh negara lain yang pernah mengalami krisis, seperti Hongkong.

Orang juga ingat kembali bahwa dalam sejarah ekonomi, baru pada tahun 1990an inilah krisis mata uang muncul kembali setelah menimpa Amerika pada tahun 1973. Kali ini negara-negara yang terkena adalah negara-negara selain Amerika dan Eropa, terutama Asia. Sebelumnya ketika Bretton Wood Agreement masih diikuti, dimana setiap mata uang harus dirujuk kepada emas, belum pernah terjadi krisis seperti ini. Adalah Amerika dibawah Nixon yang kemudian membatalkan perjanjian Bretton Wood tersebut pada tahun 1971 ketika dollar Amerika semakin lemah dan ekonomi Amerika mengalami krisis. Sejak saat itu dollar Amerika tidak lagi didasarkan kepada emas. Dengan demikian ekonomi dunia secara praktis telah dikuasai oleh Amerika, mengingat mata uang rujukan dunia saat ini adalah dollar Amerika, sedangkan mata uang tersebut sepenuhnya diatur oleh pemerintah Amerika.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa selama mata uang dunia masih disandarkan kepada emas, selama itu pula mata uang relatif stabil dan kemungkinan krisis sangat kecil. Ancaman krisis hanya ada dari penyakit yang lain, yaitu bunga. Tidak mengherankan karenanya jika dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi krisis semacam itu. Sebab, sejak zaman Nabi SAW sampai dengan Dinasti Ustmaniyyah, yang jatuh pada tahun 1923, yang namanya uang adalah uang emas atau perak. Uang kertas tidak dikenal sama sekali.

Paper ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar mata uang emas dilihat dari perspektif syariah Islam dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah bagaimana hukumnya penggunaan emas sebagai mata uang? Apa dampak penerapan mata uang emas pada perbankan? Jika mungkin diterapkan bagaimana sistemnya? Mengingat sisi praktisnya, bisakah digunakan uang kertas yang memiliki nilai tertentu terhadap emas? Apa saja sisi positif (dan negatif) penerapan mata uang emas bagi dunia perbankan? Bagaimana penetapan mata uang emas terhadap valuta asing dan kaitannya dengan transaksi-transaksi luar negeri?

II. UANG EMAS DALAM PANDANGAN SYARIAH

Kata zahab yang berarti emas disebut dalam Quran sebanyak 8 kali. Tetapi hanya satu yang memberikan ancaman kepada orang yang mengumpulkan dan menyimpan emas, karena tidak memanfaatkannya di jalan yang benar. Ayat ini merupakan ayat umum yang memerintahkan bahwa kekayaan yang disimbolkan dalam bentuk emas dan perak harus diinfakkan sebagiannya di jalan Allah. Bisa jadi kekayaan itu juga berbentuk uang emas dan perak.

Masalah emas sebagai mata uang dapat kita lihat pada sejarah Nabi SAW. Pada zaman itu mata uang yang digunakan untuk bertransaksi adalah emas dan perak. Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi. Dan sepanjang kehidupannya, Nabi tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang. Artinya Nabi dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini. Dalam ilmu hadist hal ini disebut Hadist Af_al dan Taqrir, yaitu jenis hadist yang tidak diucapkan, tetapi dilakukan atau tidak diucapkan. Ini membuat ulama berijtihad bahwa sistem mata uang emas dan perak adalah sistem mata uang yang benar.

Syeikh Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang benar menurut Islam hanya emas:

1
.      Ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut intik emas dan perak, padahal harta (mal) itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan.

2.      Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku dan tidak berubah-ubah. Ketika Islam mewajibkan diyat tersebut dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.

3.      Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang.

4.      Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.

5.      Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.

Alasan-alasan ini bisa dimaklumi jika melihat hadist-hadist Nabi SAW tentang transaksi yang melibatkan emas, misalnya:

Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: _Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai.

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya. (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: (boleh menjual) emas dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding. (HR. Ahmad, Muslim Nasa’I).

Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami pula. (HR. Bukhari-Muslim).

Para ulama memberikan berbagai tafsir terhadap hadist-hadist diatas, namun yang disepakati diantara mereka adalah bahwa tidak boleh hukumnya tukar-menukar barang yang sama jenisnya dengan timbangan yang berbeda. Sebagian ulama mengatakan bahwa disebutkannya emas dan perak diantara barang-barang makanan dalam hadist tersebut , tidak lain adalah karena emas dan perak adalah uang. Sebab jarang terjadi orang yang membeli (menukar) perhiasan dari emas dengan beras atau kurma, kecuali untuk jaminan terhadap suatu transaksi perdagangan.

Dalam kajian fiqih, memang tidak didapati secara khusus hukum yang mengatakan bahwa mata uang harus (wajib) terbuat dari emas dan perak. Nampaknya bagi para ulama hal yang semacam itu sudah merupakan asumsi yang tidak perlu dibicarakan lagi (taken for granted). Justru yang banyak menjadi pembicaraan ulama adalah praktek di sekitar uang emas dan perak, misalnya nilai tukar antara emas dengan perak yang sering berubah-ubah, sehingga Nasir Muhammad bin Qalawun, sultan yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah, pernah melarang masyarakat melakukan jual beli emas. Demikian pula Imam Ghazali pernah mencela praktek dalam masyarakat sezamannya yang mencampur emas dengan benda lain sehingga emas yang dipakai untuk mata uang tidak murni lagi. Akibatnya masyarakat cenderung melepas emas yang tidak murni ke peredaran dan menyimpan emas yang murni untuk dipakai sebagai perhiasan. Nampaknya atas dasar ini AlMaqrizi menyimpulkan dalam kitabnya bahwa uang (emas) yang buruk menggeser uang yang bagus dari peredaran.

Atas dasar ini kita dapat berkesimpulan, bahwa mata uang yang ada dalam sejarah Islam adalah emas dan perak. Uang kertas yang ada sekarang bukanlah produk peradaban Islam, karena itu wajar bila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas yang ada sekarang adalah legal tender, yaitu janji pemerintah yang menganggap bahwa itu adalah uang. Jika suatu saat hukum menyatakan ia bukan uang, maka yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak bernilai apa-apa. Padahal uang adalah alat tukar yang bisa menggantikan posisi barang bila suatu transaksi berhenti di tengah (uang belum sempat ditukarkan lagi dengan barang lain). Jika orang sedang memegangnya lalu datang pengumuman bahwa uang kertas berhenti sebagai alat tukar dan digantikan oleh beras, misalnya, ia hanya memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa. Selain itu, jika demikian itu dilakukan maka pemerintah bertanggung jawab menyediakan beras sekian banyak untuk mengganti uang tersebut.

III. UANG EMAS DALAM PERBANKAN SYARIAH

Permasalahan mata uang dalam perbankan syariah sebenarnya menyangkut tiga hal yang telah bercampur: Yaitu mata uang fiat (fiat money), masalah bunga dan mata uang dominan. Dua masalah terakhir sebenarnya dapat terlihat dengan jelas dan bisa diselesaikan jika masalah pertama terselesaikan.

Perbankan syariah mengasumsikan sebuah mata uang yang kuat dan stabil dalam melaksanakan bisnisnya. Kuat artinya tidak terpengaruh inflasi, sedangkan stabil artinya tidak berfluktuasi mengikuti kurs mata uang asing. Hal ini diperlukan karena:

1.      Produk perbankan syariah -yang mengadopsi ajaran Islam- seperti jual beli (Murabahah, Salam & Istisna’) dan sewa-menyewa (Ijarah, leasing) adalah produk yang menghasilkan keuntungan dengan rate tetap. Artinya sekali bank melakukan pembiayaan penjualan barang kepada nasabah, maka harga barang tidak berubah selama berlakunya akad perjanjian. Jika mata uang melemah terhadap barang maka secara riil bank sudah merugi. Padahal bank biasanya melakukan jual beli secara tangguh.

2.      Mata uang yang kuat meniadakan, atau setidaknya meminimalisir, terjadinya inflasi. Dengan demikian salah satu hambatan dalam penentuan harga secara umum (pricing) dalam sebuah bank akan terselesaikan.

3.      Konsep perbankan syariah meniadakan bunga sebagai instrumen. Dengan mata uang yang kuat, Time Value of Money sebagai paradigma yang menghasilkan metode Present Value dan Future Value akan hilang.  Perhitungan keuntungan akan jadi lebih mudah dan tidak berbelit-belit.

4.      Pertukaran mata uang dengan kurs yang tidak tetap, ditambah instrumen bunga, melahirkan transaksi spekulatif seperti Swap. Tujuan utama bank adalah menutup posisi likuiditas, agar pada saat jatuh tempo mata uang tersebut tersedia dengan nilai tukar yang telah diperjanjikan. Namun sekarang ini tujuan tersebut sudah bercampur dengan tujuan mencari untung (arbitrage) dengan perhitungan sukubunga tertentu. Jika nilai tukar stabil, dan bunga tidak dijadikan dasar perhitungan, maka tujuan bank melakukan tukar menukar uang menjadi jelas, dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan spekulasi.

Mata uang yang bisa memenuhi kriteria semacam ini hanya mungkin bila terbuat sesuatu yang berharga dan nilainya selalu stabil, atau uang kertas didasari oleh barang tersebut. Dan itu syarat seperti itu hanya mungkin dipenuhi oleh emas dan perak.

Kemungkinan kerancuan terdapat dalam transaksi luar negeri. Jika mata uang yang didasarkan kepada emas ditukarkan dengan mata uang fiat (tidak didasarkan kepada apapun), baik itu transaksi pertukaran biasa maupun akibat transaksi ekspor/import, maka apabila terjadi depresiasi pada mata uang fiat tersebut negara yang mata uangnya didasarkan pada emas akan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan daya beli uang tersebut menurun terhadap barang-barang, baik domestik maupun impor. Karena itu transaksi antar dua mata uang berbeda akan jarang dilakukan.

Jika standar yang digunakan terhadap emas berubah-ubah maka terjadi perburuan mata uang yang nisbahnya lebih kecil terhadap emas. Misalnya pada awal 1999 ditetapkan kurs Rp.100,- = 1 gram dan di Amerika US$ 1 = 1 gram. Ketika memasuki tahun 2000 kurs rupiah terhadap emas lebih lemah menjadi Rp.120/1 gram sedangkan di Amerika tetap. Orang akan memburu dollar, karena secara standar lebih tinggi dari rupiah, dengan asumsi rupiah akan semakin melemah terhadap emas. Dengan demikian spekulasi terhadap mata uang akan tetap ada meskipun mata uang sudah disandarkan kepada emas.

Demikian pula Kegiatan investasi yang masuk dari luar negeri akan terganggu, karena investor khawatir akan melemahnya mata uang domestik terhadap emas. Para importir akan meminta jaminan untuk membayar pada kurs yang telah ditetapkan yang berarti memindahkan beban perubahan nilai tukar pada bank. Untuk itu diperlukan standar yang tidak berubah, bukan saja pada level nasional, tetapi juga pada tingkat internasional.

Demikian pula jika dua standar (bimetallic) yang digunakan, yaitu emas dan perak. Rasio antara emas dan perak yang berubah akan berpengaruh kepada nilai mata uang antar negara. Dengan demikian asumsi-asumsi tertentu (lihat footnote 14) tidak bisa diterapkan begitu saja. Tetapi jika diadakan pembatasan-pembatasan, pemerintah sudah melakukan intervensi pada kehidupan moneter.

IV. KHATIMAH

Dengan keterbatasan-keterbatasan yang disebutkan di atas, sistem mata uang yang berbasis emas dan perak jauh lebih baik ketimbang sistem mata uang yang mengambang (floating) seperti sekarang. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya intervensi suatu negara kepada negara lain melalui sistem keuangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem keuangan internasional tidak bisa terpisah dengan sistem politiknya. Dengan demikian negara yang kuat akan terus mendominasi negara yang lemah melalui sistem mata uangnya. Tidak salah bila orang melihatnya sebagai penjajahan dalam bentuk baru. Dengan sistem mata uang emas setiap negara memiliki kekuasaan (sovereignity) atas mata uangnya sendiri, karena secara asasi siapapun boleh memiliki emas.

Kembalinya sistem mata uang berdasarkan emas sangat mungkin terjadi bila ada kemauan untuk ke arah itu. Dan itu hanya mungkin bila Islam dipakai sebagai acuan karena sistem mata uang emas dan perak telah diabadikan oleh pemerintahan Islam di masa jayanya dan tidak pernah terjadi krisis keuangan seperti yang ada sekarang.

Wallahu A’lam


Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal
E-mail

Ditulis oleh M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi   
Sabtu, 21 Mei 2005
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru atau rudal, tetapi dengan wabah kelaparan (Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).


Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme maupun liberalisme adalah kebijakan ekonomi dunia yang berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu sistem ekonomi seperti apa yang bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini. Berharap pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini sendiri sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu: Sistem Ekonomi Islam. Bagaimana sistem ini mampu menjadi lawan seimbang bagi Kapitalisme global?

Kebijakan yang Bertolak Belakang

Secara ideologis Islam dan Kapitalisme bertolak belakang. Islam menjadikan akidah Islam berikut syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya. Sebaliknya, dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam ekonomi. Akibatnya, kebijakan ekonomi kapitalis lebih didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus.

Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal ini?

1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi?

Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) adalah persoalan penting; tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak.

Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak pada masalah distribusi kekayaan. Sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok 6 miliar penduduk dunia. Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya pendistri-busian inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara negara maju dan Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri Islam).

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations Human Development Report, 1999).

Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Peran negara: perlu atau tidak?

Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi di atas, penganut ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Jika harga murah, berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal, berarti produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah alasannya, mengapa negara tidak perlu campur tangan; serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk berkerja.

Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan tiap individu rakyatnya; termasuk pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy mendasar ekonomi Islam. Bisa jadi seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya, sementara keluarganya tidak cukup untuk membantu.

Di samping itu, negara (Daulah Khilafah Islam) harus berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dan sebagainya.

Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (milkiyah ‘âmah) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas).

3. Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak?

Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas.

Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Karena itu, hasil tambang seperti minyak, emas, perak, dan lain-lain, memang milik umum (milkiyah ‘âmah) dan digunakan untuk kepentingan rakyat.

Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah menyengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terabaikan. Beban mereka semakin berat akibat negara lepas tangan. Biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal akibat diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi).

4. Pasar bebas atau tidak?

Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi) dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya, masih menurut ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan Obstfeld, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).

Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung; negara terbelakang hanya jadi obyek dalam pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik pemilik modal besar.

Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah ‘âmah) seperti minyak, air, atau tambang emas; pastilah negara terbelakang akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju. Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.

Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri.

Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas antar rakyat (warga) negara Daulah Khilafah sendiri. Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya saja, aktivitas ini tetap membutuhkan pengarahan secara umum agar tiap individu yang melakukan perdagangan terikat pada hukum syariat dalam jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar (Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm. 325). Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini negara tidak boleh mematok harga tertentu untuk barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan kepada pasar.

Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antara bangsa dan umat. Oleh karena itu, negara akan campur tangan. Hubungan-hubungan antarbangsa seperti ini harus tunduk pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung. Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas. Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan komiditi lain sesuai dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu saja akan melarang warganya yang menjual senjata kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi untuk menguasai sektor-sektor yang berhubungan dengan pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas. Perusahan-perusahan multinasional tidak akan dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber alam negara Khilafah.

Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis kafir harbi atau mu’âhad. Sebab, prinsip yang diadopsi oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini adalah prinsip asal-muasal (kewarganegaraan) pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal ini, Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara yang memerangi kaum Muslim secara langsung (muhâriban fi’lan) seperti AS, Inggris, dan Israel. Intervensi negara tersebut bukan sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan politik sekaligus mengembang dakwah.

Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap perdagangan yang justru memberikan jalan bagi pihak luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti yang terjadi sekarang ini. Setiap warga negara berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak bergantung pada produk-produk asing yang mengancam kemandirian negara. Warganegara didorong untuk memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara boleh memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya barang-barang yang justru mengancam industri dalam negeri seperti dalam bidang pertanian.

5. Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak?

Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi neo-liberal ditujukan untuk mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar negara di seluruh dunia (Singh, Memahami Globalisasi Keuangan, 1998).

Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara miskin sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu. Banyak pihak yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang Indonesia, merupakan permainan para spekulan internasional ini.

Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional. AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia internasional.

Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem mata uang dengan standar emas dan perak, bukan dolar. Dengan demikian, sistem moneter internasional akan terjadi secara adil. Siapapun yang ingin mencetak uang kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal mencetak uang kertas, sementara negara lain harus melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan uang kertas dalam jumlah yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar penyebab inflasi.

6. Ihwal privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN sesungguh-nya menjadi agenda utama kebijakan ekonomi neo-liberal. Tentu saja hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat oleh perusahaan swasta, terutama perusahaan transnasional. Kekayaan yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis justru jatuh ke individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup miskin.

Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah:

(1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dan lain-lain);

(2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan, sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya;

(3) barang tambang yang depositnya melimpah dalam jumlah besar seperti sumberdaya mineral (garam, besi, emas, perak, timah dan lain-lain).

Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta (seperti perusahan multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara hanya mengelolanya saja; hasil pendapatannya diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa banyaknya sumber kas Baitul Mal.

Agenda ke Depan

Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus dijalankan secara komprehensif. Karena itu, agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik untuk itu, yaitu Daulah Khilafah Islam. Negara global inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi dan kerakusan negara-negara kapitalis lewat kebajikan ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia saat ini.

Wallâhu a’lam.

Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.

Komentar
Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal
Ditulis oleh andalusia20002000 pada 2005-06-09 17:19:57

Assalamualikum.
Mengomentari Pendapat anda tentang Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal,setahu saya sistim Ekonomi hanya ada dua MAZHAB :
1.EKONOMI KAPITALISME
2.EKONOMI SOSIALISME.
Kalaupun mau ditambah maka adalah EKONOMI CAMPURAN KAPITALISME DAN SOSIALISME(MIXED ECONOMY).
Jadi Tidak Ada EKONOMI ISLAM yang betul adalah Pelaku KONOMI ada yang beragama ISLAM.
Pada Zaman Rasululah dan Khalifah(dinasti) ISLAM yang diterapkan adalah Ekonomi Kapitalisme sub Merkantalisme(PERDAGANGAN),Merkantalisme ini anak Kapitalisme yang Juga Kejam bahkan Sampai menjual Orang (PERBUDAKAN),smapi sekarang Sisa sisa Merkantalisme yang Brengsek itu masih Ada di TIMUR TENGAH/ARAB yaitu apa yang kita kenal dengan KASUS TKW Indonesia.
Jadi Jangan terlalu pro ARAB,karena kita bisa Islam Juga tanpa bantuan Orang ARAB,mereka banyak Munafik buktinya di Saudi/TIMUR TENGAH malahsana RAJA RAJA MINYAKNYA mereka Uangnya di tabung di CITY BANK dan di BANK2 EROPA karena dapet Bunga(rente)tinggi dan Anda tahu Bank Eropa2 dan Amerika Minjemin itu duit ke DUNIA KE TIGA dengan rente Yang Mahal.
WASALAM
Paradigma Sistem Ekonomi Islam
E-mail


Ditulis oleh Muhammad Ismail Yusanto   
Rabu, 02 Juni 2004
Sistem ekonomi Islam terlahir dari sebuah paradigma -- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kerangka berfikir -- Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia, sebelum dunia dan kehidupan setelahnya serta kaitan (hubungan) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran menyeluruh itu menjawab tiga pertanyaan besar: dari mana alam semesta, manusia dan kehidupan ini berasal? untuk apa diciptakan? dan kemana semua itu menuju setelah berakhir nanti? Tiga pertanyaan ini disebut oleh Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Islam sebagai al-‘uqdatu al-kubra (simpul besar). Disebut simpul besar karena bila tiga pertanyaan ini terjawab secara tuntas, memuaskan akal, sesuai dengan fitrah manusia dan karenanya menentramkan jiwa, maka akan terurailah pertanyaan-pertanyaan cabang berikutnya. Misalnya, tentang bagaimana manusia harus mencari nafkah, mencukupi kebutuhannya, bagaimana pula cara memanfaatkan hartanya dan sebagainya.

            Tiga pertanyaan tersebut, menurut Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab Al-Tafkir, wajar belaka mengingat manusia memang hidup di dunia (yahya fi al-kawni), lalu cepat atau lambat, satu persatu atau berbarengan akan meninggal. Sesuai fitrahnya sebagai makhluk yang berakal, manusia akan terdorong berfikir tentang asal muasal kehidupan, alam di sekitarnya, serta hakekat kehidupannya di dunia ini (ma’na wujudi al-hayati al-dunya).

Jawaban atas tiga pertanyaan mendasar ini menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena mencakup semua perkara yang maujud (alam, kehidupan dan manusia) dari tiga fase kehidupan (sebelum kehidupan dunia, kehidupan dunia dan sesudahnya) yang dilalui manusia, termasuk hubungan antara tiga fase tersebut. Fikrah kulliyah ‘ani al-kawn wa al-insan wa al-hayat (pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan) disebut juga aqidah (pemikiran yang mendasar) yang berperan sebagai qaidah fikriyah (landasan pemikiran) karena ia menjadi basis pemikiran yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran cabang.

            Paradigma sebagai sebuah sistem berfikir yang paling mendasar bagi sebuah tatanan kehidupan bagaikan inti dari sebuah barang, akar dari sebuah pohon atau fondasi dari sebuah bangunan. Jadi sangat menentukan, bahkan ia merupakan pusat dari daya hidup sistem yang terlahir darinya. Maka, tak akan ada pohon tanpa akar, bangunan tanpa pondasi, dan tidak ada sistem, termasuk sistem ekonomi, tanpa paradigma.

Paradigma Islam

Menurut keyakinan Islam yang bersumber dari wahyu, alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan ciptakan Allah, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (ma qabla hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Allah lah dzat yang menciptakan alam semesta ini. Menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah. Manusia hidup dalam kurun waktu tertentu kemudian mati, dan akan kembali kepada-Nya (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un).

Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam al-Fairuz Abadi, artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat fi al-Fikri al-Islami, memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum – inilah yang dimaksud oleh ayat 56 dari surah al-Dzariaat – adalah mentaati segala ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah berarti tiap kegiatan ritual sebagai pelaksanaan syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya (ibadah mahdah).

Islam juga meyakini bahwa suatu saat nanti akan ada hari kiamat (yaumu al-qiyamah) sebagai yakni akhir dari semua kehidupan. Setelah itu manusia akan dibangkitkan kembali, dihisab (diperhitungkan) oleh Allah segala amal perbuatannya selama hidup di dunia, dan berdasarkan timbangan amalnya itu manusia akan ditempatkan di sorga atau neraka. Oleh karena itu, kehidupan dunia yang sangat sementara ini bagi seorang muslim sangatlah penting. Ia bukan hanya sekadar kehidupan, tapi – seperti kata Rasulullah – merupakan tempat bertanam untuk dituai hasilnya nanti di akhirat (al-dunya mazra’atu al-akhirah). Keimanan kepada Allah dan ketundukan kepada syariat-Nya merupakan pintu satu-satunya untuk menggapai kebahagiaan yang kekal di akhirat. Maka, syariat dalam kehidupan seorang muslim bersifat sentral. Ia bukan hanya dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah untuknya, tapi secara operasional juga merupakan pemecah problema kehidupan manusia (mu’alajah li masyakili hayati al-insani) dalam setiap aspek.

Kehidupan dunia juga tidaklah berdiri sendiri. Ia mempunyai hubungan dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya ada dua: Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalq) dimana alam semesta, manusia dan kehidupan ini diciptakan oleh Allah. Allahlah dzat yang berada di balik semua makhluknya. Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Dalam al-Qur’an surah al-A’raaf ayat 74 disebutkan (artinya):  “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Hak memerintah pada Allah terwujud dalam bentuk perintah untuk alam semesta (al-amru al-kawni) berupa ketentuan-ketentuan yang mengatur bekerjanya alam semesta ini, dan perintah hukum syara’ (al-amru al-tasyri’i) berupa hukum syariah yang mengatur peri kehidupan manusia dalam semua aspeknya. Jadi, jelas sekali bahwa Allah tidaklah sekadar menciptakan, tapi juga menetapkan aturan berupa sunnatullah (atau nizhamu al-wujud) dan nizamu al-hayah (sistem kehidupan) yang harus diikuti oleh manusia berupa serangkaian perintah dan larangan yang termaktub dalam wahyu Allah berupa al-Qur’an dan al-Hadits yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Serangkaian perintah dan larangan inilah yang disebut sebagai syariah.

Hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada setelah kehidupan dunia ada dua: Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur), yaitu bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kubur dan akan mengumpulkannya di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), yaitu bahwa Allah tidak sekadar membangkitkan manusia dan mengumpulkannya di Padang Mahsyar, tapi juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap semua amal manusia tatkala hidup di dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak. Yang beriman disebut mukmin, yang tidak disebut kafir. Bila beriman, dilihat apakah ia ketika hidup di dunia tunduk melaksanakan syariah atau tidak. Yang tunduk disebut atau muttaqin (orang yang bertaqwa). Sementara yang mengabaikan syariah (melakukan yang dilarang atau mengabaikan yang diwajibkan) disebut fasiqin (pelaku maksiyat).

Sesuai janji Allah, orang kafir pasti akan ditempatkan kekal di neraka. Orang-orang yang beriman dan taat akan kekal hidup dalam naungan ridha Allah di sorga. Sementara, orang-orang yang beriman tapi bergelimang maksiyat akan mendapatkan ganjaran yang setimpal di neraka sebelum akhirnya hidup kekal di sorga.

Paradigma Sistem Ekonomi Islam

Paradigma sistem ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam sebagaimana diuraikan secara ringkas di atas, karena paradigma sistem ekonomi Islam  berpangkal, dan memang harus berpangkal, pada paradigma Islam itu sendiri. Paradigma Islam merupakan sumber dari paradigma sistem ekonomi Islam. Maka, mustahil membangun paradigma sistem ekonomi Islam tanpa memperhatikan paradigma Islam.
Risalah Islam diturunkan Allah dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup, bukan sekadar memenuhi kebutuhan (atau keinginan), serta menjadikan perolehan kebahagiaan (al-hasanat) di dunia dan akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi yang hendak diwujudkan oleh manusia. Oleh karena itu, Islam menjadikan paradigma ekonomi berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Yakni dengan menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan masyarakat, serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai dengan pendapat dan pemikiran Islam serta hukum Islam. Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’ sebagai undang-undang yang membolehkan apa yang dibolehkan Islam dan membatasi apa yang harus dibatasi. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak berhenti di dunia saja, tapi sampai ke negeri akhirat karena semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sana kelak.

            Keyakinan Islam juga mengatakan bahwa syariah pastilah membawa rahmah. Artinya, di dalam syariat pasti terkandung kebaikan-kebaikan. Bila syariah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka kebaikan-kebaikan itu akan dirasakan baik oleh individu maupun masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi yang baik adalah apa yang dikatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah apa yang dikatakan buruk oleh syariah (al-hasan ma hassanahu al-syar’u, al-qabih ma qabbahahu al-syar’u). Jadi, melaksanakan sistem ekonomi Islam berarti adalah melaksanakan syariah Islam di bidang ekonomi. Dan agar syariah dapat selalu menjawab tantangan perkembangan ekonomi, ijtihad di bidang ekonomi, khususnya tentang perkara-perkara baru seperti tentang kartu kredit, smart card, e-commerce, dan sebagainya harus terus dilakukan.

Dari paradigma utama di atas, bisa dibuat paradigma turunan (derivat) untuk berbagai aspek dalam ekonomi, di samping dengan paradigma itu juga mampu menyelesaikan sejumlah dikotomi yang selama ini terjadi dalam sistem ekonomi yang berjalan, di antaranya:

Paradigma Kepemilikan

            Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah (24:33). Dan harta yang dipunyai manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya (57:7). Kata rizki sendiri artinya memang pemberian (‘atho`). Oleh karenanya, harta semestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki harta itu. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa di alam akherat nanti Allah akan menanyai manusia 4 hal: tentang umur, badan, ilmu dan harta. Menariknya, untuk tiga hal pertama hanya ditanyakan satu perkara: untuk apa dimanfaatkan. Tapi menyangkut harta ditanyakan dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Di sinilah pentingya Islam mengatur masalah kepemilikan (macam kepemilikan, sebab-sebab didapatkannya kepemilikan), pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara manusia.

Pandangan Islam berbeda dengan paham kapitalisme, yang menganggap harta sepenuhnya adalah milik manusia karena manusia yang mengusahakan, dan oleh karenanya manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang dianggap bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan hartanya. Pandangan Islam juga berbeda dengan sosialisme, yang kebalikan dari sistem kapitalisme, tidak mengakui kepemilikan individu. Sosialisme mematikan kreatifitas manusia. Dimensi individual dan motif-motif manusiawi dihilangkan. Akibatnya, dorongan pencapaian pribadi menjadi tidak ada. Tidak ada gairah kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan secara drastis produktivitas masyarakat secara umum.

Paradigma Uang

Islam membedakan antara money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedang capital  sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat, maka  penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian maka akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, dishadaqahkan atau dipinjam(qard)kan tanpa memungut riba, dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syirkah, yakni berbisnis dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syirkah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.

Islam tidak mengenal motif money demand for speculation, karena spekulasi (maysir) dilarang. Dan kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta (capital) sebagai obyek zakat. Konsep ini  jelas sangat berlawanan dengan konsep konvensional, dimana money (dan juga capital) dipandang semua sebagai private goods. Baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, capital  harus menghasilkan uang. Dalam kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi (sektor non riil), cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi.
Ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Allais Maurice, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1997, yang melibatkan 21 negara besar, menunjukkan bahwa uang yang beredar di masyarakat (sebagai private goods) jauh lebih banyak dari pada yang berputar di sektor riil (sebagai public goods). Hal ini membuat fungsi uang sebagai lokomotif penggerak kegiatan ekonomi tidak lagi efektif dan berubah fungsi menjadi komoditas.

Antara Kepentingan Individu dan Kolektif

Dr. Samih Athif al-Zain dalam kitab Al-Islam Khuthutun ‘Aridhah: al-Hukm, al-Ijtima’, al-Iqtishad, menyatakan bahwa ekonomi dalam Islam ditegakkan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat; bukan manusia sebagai individu serta bukan pula yang terasing atau individu yang hidup dalam masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apa pun. Jadi, ekonomi bagi manusia bukan bagi individu, dan bagi masyarakat bukan bagi kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tapi menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, bila Islam mengharamkan memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras atau seks bebas, bukanlah dipandang sebagai masalah individu serta bagaimana memenuhi hasrat akan minuman dan seks bebas itu, melainkan dipandang sebagai masalah manusia yang hidup di tengah masyarakat. Islam tahu (karena Sang Pencipta yang menetapkan) miras dan seks bebas pasti akan berakibat buruk bagi manusia (kendati beberapa individu gemar melakukan), yang tentu akan tidak baik pula untuk masyarakat – sesuatu yang sekarang makin terbukti (misalnya lewat kasus Jenderal Tampubolon yang dibunuh oleh segerombolan pemuda teler setelah menenggak miras dan AIDS yang kini telah menjadi ancaman mondial). Oleh karenanya, dalam sistem ekonomi Islam barang-barang itu tidak dianggap sebagai materi ekonomi.

Antara Kebutuhan Material dan Pemenuhan Hasrat Spiritual

Sistem ekonomi Islam adalah juga sebuah sistem yang memiliki nilai ruhiah, karena secara inheren sekiranya dilaksanakan, otomatis terkandung pula ketundukan kita sebagai seorang muslim kepada Sang Khaliq, karena sistem itu memang datang dari-Nya. Dalam sistem ekonomi Islam, dikotomi antara pemenuhan kebutuhan material di satu sisi dengan kepuasan spiritual di sisi lain yang selama ini dirasakan dalam kegiatan ekonomi kapitalistik, tidak akan terjadi. Kegiatan dalam sistem ekonomi sekuler tersebut memang tidak berbasis syariah, malah kadang bertentangan dengan syariah, sementara secara fitri manusia memerlukan kepuasan spiritual yang terujud dalam ekstase ruhani saat dia merasa mendapatkan keridhaan Sang Pencipta dalam setiap aktivitas hidupnya. Ketika seorang muslim berdagang misalnya, atau negara mengelola sumber daya alam, dan itu dilakukan sesuai syariah, maka disamping mendapatkan   keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual.

Munculnya krisis spiritualitas di sejumlah negara-negara industri seperti Jepang dan AS, yang ditandai dengan maraknya sekte-sekte keagamaan semacam Aum Sinkrio, yang sangat tidak rasional di tengah masyarakat yang secara sains sangat rasional itu, merupakan bukti yang sangat nyata kegagalan sistem ekonomi kapitalis mewujudkan pemenuhan kebutuhan material dan dahaga spiritual secara sekaligus.

Khatimah

Sebagai sebuah sistem, sistem ekonomi Islam memang belum terujud secara faktual, tapi secara konseptual sangat menjanjikan. Secara imani, tentu kita sangat yakin bahwa ia pasti akan muncul sebagai satu-satunya sistem yang mampu memenuhi semua harapan manusia, karena Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia, termasuk non-muslim sekali pun. Maka, mengkaji sistem ekonomi Islam secara intens lalu mewujudkannya dalam realitas kehidupan masyarakat merupakan perkara yang amat urgen.

Tetap ngotot bertahan pada sistem ekonomi kapitalistik seperti yang sekarang tengah berjalan, hanya akan makin menjerumuskan manusia pada jurang nestapa: kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik, proses dehumanisasi yang mengerikan, serta makin menjauhkan kita dari tujuan-tujuan mulia berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai hamba Allah di dunia. [  ]

Wallahu a’ lam  bi al-shawab
Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.


Tantangan Dinarisasi
E-mail

Ditulis oleh Zaim Saidi   
Rabu, 02 Juni 2004
Meski tidak secara eksplisit, Dodik Siswantoro dalam opininya, Dolarisasi Versus Dinarisasi (Republika, 2/7), tampaknya ingin ikut mempromosikan dinar emas sebagai alternatif sistem moneter dunia. Selain tidak eksplisit, tulisan Dodik juga belum disertai argumentasi yang meyakinkan. Pada akhir tulisannya secara retorik Dodik bahkan mempertanyakan strategi yang sarat ''dengan romantisme sejarah'' ini.
Tulisan berikut merupakan tanggapan dan catatan bagi Dodik bahwa dinarisasi (istilah Dodik) adalah strategi yang tepat dalam menghadapi dolarisasi yang merugikan banyak pihak tersebut.

Pertama, strategi dinarisasi tidak semata-mata berdasarkan romantisme sejarah dan tradisi masa lampau. Dinar emas, beserta ''pasangannya'' dirham perak, pantas untuk dikembalikan karena merupakan antidote ampuh sistem riba yang merajalela karena sistem ribawi yang ditopang oleh segi tiga kaki ''uang kertas-bunga-dan utang''.

Memang untuk memahaminya kita perlu melongok sejarah sebentar. Kemunduran banyak negara Islam, dan kehancurannya di kemudian hari, diawali dengan ditinggalkannya pemakaian uang emas dan perak. Uang kertas yang menggantikannya yang, secara inheren, membawa riba dan kezaliman adalah instrumen ampuh musuh-musuh Islam dalam menaklukkannya. Ketika imperialisme dan kolonialisme politik atas bangsa-bangsa Muslim berakhir di awal abad ke-20, dimulailah imperialisme dan kolonialisme ekonomi dan finansial yang jauh lebih dahsyat kekuatannya itu, sampai detik ini.

Uang kertas adalah alat politik penaklukan yang kekuatannya melampaui senjata fisik apa pun. Dengan sistem perbankan (pembangunan) sebagai kuda troya, uang kertas memungkinkan politik utang dalam sistem ribawi yang diterapkan oleh Barat untuk menjerat negeri-negeri Muslim sangat efektif. Saksikanlah kemerdekaan politik Tunisia, Mesir, bahkan daulah Utsmaniah di Eropa, di abad ke-19 itu, digantikan oleh penjajahan kembali melalui utang. Persis seperti yang kita alami hari-hari ini, jeratan utang IMF dan Bank Dunia telah menafikan sama sekali makna kemerdekaan politik kita sebagai bangsa berdaulat, bukan?

Marilah kita sederhanakan masalah ini barang sedikit. Apa yang membedakan selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta, berwarna merah, yang bernilai Rp 100.000, dengan selembar kertas lain bergambar Kapitan Pattimura, berwarna biru, bernilai Rp 1000? Seorang murid kelas 3 SD pun memberikan jawaban: gambarnya! Mengapa lembar yang pertama lantas bernilai seratus kali yang kedua? Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan atas selembar kertas lain, berwana abu-abu kehijauan, yang bernilai 1 US$. Mengapa nilainya menjadi 10.000 kali satu unit mata uang kita yang bernama rupiah ini?

Semua itu terjadi karena uang kertas adalah artifisial. Keberadaannya, tinggi rendah nilainya, sah-tidaknya, ditentukan oleh satu pihak tertentu. Dulu ketika negara masih kuat politik (ke-)uang(-an) semuanya ditentukan oleh bank sentral, tapi kini ketika kedaulatan negara semakin tipis, oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Uang kertas yang dapat diciptakan -- secara harfiah maupun dalam sistem sirkulasi -- setiap saat ini menjadi mesin utang yang tak kenal berhenti berputar. Megaproyek semerusak apa pun, dalam ekonomi busa (bubble economy) sebesar apa pun, dapat terus dipacu. Dan untuk mencegah keruntuhannya, sambil pada saat yang sama mereguk keuntungan sebesarnya, sistem utang-piutang (pembangunan) ribawi yang zalim ini pantang berhenti.

Sebaliknya, mata uang bimetal, emas dan perak, adalah uang yang mengikuti fitrah. Tak sebuah pun negara, termasuk daulah Islam di bawah Nabi Muhammad SAW maupun para khalifahnya, perlu merumuskan undang-undang khusus untuk menetapkan sistem ini. Bahkan, dalam prakteknya, sistem bimetal tidak memerlukan satu aturan atau sistem pengendalian pun. Yang diperlukan bagi berlakunya sistem mata uang bimetal hanyalah kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki dan menggunakannya, baik sebagai komoditas maupun alat tukar (uang). Berdasar pengalaman ribuan tahun, secara alamiah, umat manusia menemukan emas dan perak, di antara beragam pilihan komoditas yang pernah dicoba, sebagai mata uang yang paling pas dan cocok.

Genggamlah sekeping koin dinar emas atau dirham perak di tangan Anda. Timbang dan bawalah ke manapun Anda pergi, ke London, New York, Paris, Tokyo, atau Jakarta. Sekeping dinar tetaplah 4.25 g emas 22 karat, dan sekeping dirham adalah 3 g perak murni. Bahkan bila
gambar dan coraknya Anda ubah-ubah, bertuliskan kalimah syahadah maupun bergambar Soekarno-Hatta atau George Washington, nilainya akan tetap. Emas Cikotok sama bermutu dan nilainya dengan emas Inggris atau Afrika Selatan. Maka, emas dan perak, dinar dan dirham, tidak mungkin bisa dimanipulasi oleh negara ataupun lembaga keuangan internasional mana pun -- kecuali dipalsukan.

Kedua, sekali dinar dan dirham kembali dipakai oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini, sebagian besar persoalan umat manusia tidak mustahil akan terselesaikan dengan sendirinya. Kalau saja bangsa-bangsa di dunia saat ini mendukung dan mengikuti kepemimpinan PM Malaysia, Mahathir Muhammad, memakai dinar dan dirham dalam perdagangan internasional, posisi tawar negara-negara pengutang akan naik. Kekuatan ekonomi dan finansialnya akan berangsur pulih. Kurs mata uang tidak lagi jadi persoalan. Pertukaran harta, minyak, kayu, barang pertanian, tambang, dan sebagainya dari negeri-negeri ini bahkan akan diperoleh kembali dalam bentuk harta lain, berupa emas dan perak. Kolonialisme dan imperialisme melalui politik utang seketika akan dapat kita hapuskan. Pada saat yang sama sebagai mata uang yang tak mengenal batas negara dan kebangsaan, dinar akan mempersatukan umat seluruh dunia.

Ketiga, para pendukung dinarisasi telah menyusun strategi implementasi sampai pada tingkat yang praktis. Berbagai kelompok masyarakat telah mengamalkan pemakaian dinar dan dirham di lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia. Pencetakan koin-koin emas ini terus bertambah setiap harinya. Standarisasi tentang spesifikasi dinar emas ini pun telah disepakati sesuai usulan WITO (World Islamic Trading Organization).
Sementara itu, strategi struktural oleh negara terus dilanjutkan oleh Malaysia. Pemerintahan Mahathir maju terus dalam soal dinarisasi ini. Langkah terbaru Mahathir adalah menyelenggarakan Konperensi Internasional ''Dinar Emas dalam Perdagangan Multilateral'', yang akan diselenggarakan oleh Institute of Islamic Understanding (IKIM), Malaysia, pada 22-23 Oktober 2002, di Kuala Lumpur. Konperensi ini akan menandai kesiapan teknis implementasi dinarisasi dalam perdagangan internasional dengan pemerintah Malaysia sebagai lokomotifnya.

Di luar ketiga argumen rasional di atas dapat ditambahkan argumen keempat, yakni tuntutan hukum Islam. Sebagaimana diisyaratkan oleh ulama Taqyudin An-Nabhani, memakai dinar emas berarti mengamalkan hukum syari'ah. Sebab uang dalam Islam, sebagaimana ibadah dan muamalah lain, berhubungan dan terikat dengan hukum syara'.
Keharaman menimbunnya, kewajiban mengeluarkan zakatnya, adanya hukum-hukum pertukaranmya, diamnya rasul untuk melakukan transaksi dengannya, serta keterkaitannnya dengan diyat dan potong tangan dalam pencurian, telah menjadikan uang sebagai suatu masalah -- yang pendapat atasnya sangat tergantung kepada nash syara'. Dan, sebagaimana kita pahami bersama, syara' menyatakan uang dengan hukum-hukum yang terkait dengan semua itu adalah dalam bentuk emas dan perak. Ini membuktikan bahwa uang dalam Islam harus berupa emas dan perak.

Hanya pengguna yang terdaftar yang boleh menulis komentar.
Silahkan login atau daftar.




Sistem Dinar Emas: Solusi untuk Perbankan Syariah
E-mail

Ditulis oleh Cecep Maskanul Hakim   
Rabu, 02 Juni 2004
I. PENDAHULUAN

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan Asia telah berlanjut memasuki tahun ke 3. Belum ada tanda-tanda bahwa krisis di kawasan ini akan pulih, meskipun Indonesia yang dianggap sebagai salah satu daerah penggerak ekonomi kawasan Asia Tenggara telah dianggap sukses melaksanakan pemilihan umum, tanpa diwarnai kekerasan. Sebagaimana dimaklumi, krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia ini berawal dari krisis nilai tukar mata uang, yaitu semakin kuatnya mata uang asing -khususnya dollar Amerika- terhadap mata uang domestik. Akibatnya harga-harga meningkat secara berlipat karena struktur ekonomi Indonesia didominasi impor, baik bahan baku maupun barang jadi. Di bidang jasa keuanganpun demikian, dan tingkat suku bunga meroket sehingga pada puncaknya pernah mencapai 90%. Dunia usaha macet, tingkat pengangguran semakin besar, inflasi meninggi, pertumbuhan negatif dan seterusnya.

Banyak orang gusar mengapa sebuah perekonomian harus terpuruk hanya karena nilai mata uang yang berubah. Sehingga ditengah krisis pernah ada usulan untuk mengikat (peg) rupiah kepada beberapa mata uang asing, yang lazim disebut CBS (Currency Board System). Namun karena sebelumnya Indonesia telah menandatangani Letter of Intent dengan IMF, yang mensyaratkan diantaranya bahwa Indonesia harus menganut sistem (rezim) devisa bebas, maka ide tentang CBS tidak diterima. Padahal sistem itu sudah dipraktekkan oleh negara lain yang pernah mengalami krisis, seperti Hongkong.

Orang juga ingat kembali bahwa dalam sejarah ekonomi, baru pada tahun 1990an inilah krisis mata uang muncul kembali setelah menimpa Amerika pada tahun 1973. Kali ini negara-negara yang terkena adalah negara-negara selain Amerika dan Eropa, terutama Asia. Sebelumnya ketika Bretton Wood Agreement masih diikuti, dimana setiap mata uang harus dirujuk kepada emas, belum pernah terjadi krisis seperti ini. Adalah Amerika dibawah Nixon yang kemudian membatalkan perjanjian Bretton Wood tersebut pada tahun 1971 ketika dollar Amerika semakin lemah dan ekonomi Amerika mengalami krisis. Sejak saat itu dollar Amerika tidak lagi didasarkan kepada emas. Dengan demikian ekonomi dunia secara praktis telah dikuasai oleh Amerika, mengingat mata uang rujukan dunia saat ini adalah dollar Amerika, sedangkan mata uang tersebut sepenuhnya diatur oleh pemerintah Amerika.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa selama mata uang dunia masih disandarkan kepada emas, selama itu pula mata uang relatif stabil dan kemungkinan krisis sangat kecil. Ancaman krisis hanya ada dari penyakit yang lain, yaitu bunga. Tidak mengherankan karenanya jika dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi krisis semacam itu. Sebab, sejak zaman Nabi SAW sampai dengan Dinasti Ustmaniyyah, yang jatuh pada tahun 1923, yang namanya uang adalah uang emas atau perak. Uang kertas tidak dikenal sama sekali.

Paper ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar mata uang emas dilihat dari perspektif syariah Islam dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah bagaimana hukumnya penggunaan emas sebagai mata uang? Apa dampak penerapan mata uang emas pada perbankan? Jika mungkin diterapkan bagaimana sistemnya? Mengingat sisi praktisnya, bisakah digunakan uang kertas yang memiliki nilai tertentu terhadap emas? Apa saja sisi positif (dan negatif) penerapan mata uang emas bagi dunia perbankan? Bagaimana penetapan mata uang emas terhadap valuta asing dan kaitannya dengan transaksi-transaksi luar negeri?

II. UANG EMAS DALAM PANDANGAN SYARIAH

Kata zahab yang berarti emas disebut dalam Quran sebanyak 8 kali. Tetapi hanya satu yang memberikan ancaman kepada orang yang mengumpulkan dan menyimpan emas, karena tidak memanfaatkannya di jalan yang benar. Ayat ini merupakan ayat umum yang memerintahkan bahwa kekayaan yang disimbolkan dalam bentuk emas dan perak harus diinfakkan sebagiannya di jalan Allah. Bisa jadi kekayaan itu juga berbentuk uang emas dan perak.

Masalah emas sebagai mata uang dapat kita lihat pada sejarah Nabi SAW. Pada zaman itu mata uang yang digunakan untuk bertransaksi adalah emas dan perak. Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi. Dan sepanjang kehidupannya, Nabi tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang. Artinya Nabi dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini. Dalam ilmu hadist hal ini disebut Hadist Af_al dan Taqrir, yaitu jenis hadist yang tidak diucapkan, tetapi dilakukan atau tidak diucapkan. Ini membuat ulama berijtihad bahwa sistem mata uang emas dan perak adalah sistem mata uang yang benar.

Syeikh Taqyuddin An-Nabhani memberikan beberapa alasan mengapa mata uang yang benar menurut Islam hanya emas:

1
.      Ketika Islam melarang praktek penimbunan harta, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut intik emas dan perak, padahal harta (mal) itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan kekayaan.

2.      Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku dan tidak berubah-ubah. Ketika Islam mewajibkan diyat tersebut dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.

3.      Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang.

4.      Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.

5.      Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak. Semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak.

Alasan-alasan ini bisa dimaklumi jika melihat hadist-hadist Nabi SAW tentang transaksi yang melibatkan emas, misalnya:

Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: _Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai.

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya. (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: (boleh menjual) emas dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding. (HR. Ahmad, Muslim Nasa’I).

Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami pula. (HR. Bukhari-Muslim).

Para ulama memberikan berbagai tafsir terhadap hadist-hadist diatas, namun yang disepakati diantara mereka adalah bahwa tidak boleh hukumnya tukar-menukar barang yang sama jenisnya dengan timbangan yang berbeda. Sebagian ulama mengatakan bahwa disebutkannya emas dan perak diantara barang-barang makanan dalam hadist tersebut , tidak lain adalah karena emas dan perak adalah uang. Sebab jarang terjadi orang yang membeli (menukar) perhiasan dari emas dengan beras atau kurma, kecuali untuk jaminan terhadap suatu transaksi perdagangan.

Dalam kajian fiqih, memang tidak didapati secara khusus hukum yang mengatakan bahwa mata uang harus (wajib) terbuat dari emas dan perak. Nampaknya bagi para ulama hal yang semacam itu sudah merupakan asumsi yang tidak perlu dibicarakan lagi (taken for granted). Justru yang banyak menjadi pembicaraan ulama adalah praktek di sekitar uang emas dan perak, misalnya nilai tukar antara emas dengan perak yang sering berubah-ubah, sehingga Nasir Muhammad bin Qalawun, sultan yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah, pernah melarang masyarakat melakukan jual beli emas. Demikian pula Imam Ghazali pernah mencela praktek dalam masyarakat sezamannya yang mencampur emas dengan benda lain sehingga emas yang dipakai untuk mata uang tidak murni lagi. Akibatnya masyarakat cenderung melepas emas yang tidak murni ke peredaran dan menyimpan emas yang murni untuk dipakai sebagai perhiasan. Nampaknya atas dasar ini AlMaqrizi menyimpulkan dalam kitabnya bahwa uang (emas) yang buruk menggeser uang yang bagus dari peredaran.

Atas dasar ini kita dapat berkesimpulan, bahwa mata uang yang ada dalam sejarah Islam adalah emas dan perak. Uang kertas yang ada sekarang bukanlah produk peradaban Islam, karena itu wajar bila terjadi krisis dimana-mana. Uang kertas yang ada sekarang adalah legal tender, yaitu janji pemerintah yang menganggap bahwa itu adalah uang. Jika suatu saat hukum menyatakan ia bukan uang, maka yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak bernilai apa-apa. Padahal uang adalah alat tukar yang bisa menggantikan posisi barang bila suatu transaksi berhenti di tengah (uang belum sempat ditukarkan lagi dengan barang lain). Jika orang sedang memegangnya lalu datang pengumuman bahwa uang kertas berhenti sebagai alat tukar dan digantikan oleh beras, misalnya, ia hanya memiliki kertas yang tidak bernilai apa-apa. Selain itu, jika demikian itu dilakukan maka pemerintah bertanggung jawab menyediakan beras sekian banyak untuk mengganti uang tersebut.

III. UANG EMAS DALAM PERBANKAN SYARIAH

Permasalahan mata uang dalam perbankan syariah sebenarnya menyangkut tiga hal yang telah bercampur: Yaitu mata uang fiat (fiat money), masalah bunga dan mata uang dominan. Dua masalah terakhir sebenarnya dapat terlihat dengan jelas dan bisa diselesaikan jika masalah pertama terselesaikan.

Perbankan syariah mengasumsikan sebuah mata uang yang kuat dan stabil dalam melaksanakan bisnisnya. Kuat artinya tidak terpengaruh inflasi, sedangkan stabil artinya tidak berfluktuasi mengikuti kurs mata uang asing. Hal ini diperlukan karena:

1.      Produk perbankan syariah -yang mengadopsi ajaran Islam- seperti jual beli (Murabahah, Salam & Istisna’) dan sewa-menyewa (Ijarah, leasing) adalah produk yang menghasilkan keuntungan dengan rate tetap. Artinya sekali bank melakukan pembiayaan penjualan barang kepada nasabah, maka harga barang tidak berubah selama berlakunya akad perjanjian. Jika mata uang melemah terhadap barang maka secara riil bank sudah merugi. Padahal bank biasanya melakukan jual beli secara tangguh.

2.      Mata uang yang kuat meniadakan, atau setidaknya meminimalisir, terjadinya inflasi. Dengan demikian salah satu hambatan dalam penentuan harga secara umum (pricing) dalam sebuah bank akan terselesaikan.

3.      Konsep perbankan syariah meniadakan bunga sebagai instrumen. Dengan mata uang yang kuat, Time Value of Money sebagai paradigma yang menghasilkan metode Present Value dan Future Value akan hilang.  Perhitungan keuntungan akan jadi lebih mudah dan tidak berbelit-belit.

4.      Pertukaran mata uang dengan kurs yang tidak tetap, ditambah instrumen bunga, melahirkan transaksi spekulatif seperti Swap. Tujuan utama bank adalah menutup posisi likuiditas, agar pada saat jatuh tempo mata uang tersebut tersedia dengan nilai tukar yang telah diperjanjikan. Namun sekarang ini tujuan tersebut sudah bercampur dengan tujuan mencari untung (arbitrage) dengan perhitungan sukubunga tertentu. Jika nilai tukar stabil, dan bunga tidak dijadikan dasar perhitungan, maka tujuan bank melakukan tukar menukar uang menjadi jelas, dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan spekulasi.

Mata uang yang bisa memenuhi kriteria semacam ini hanya mungkin bila terbuat sesuatu yang berharga dan nilainya selalu stabil, atau uang kertas didasari oleh barang tersebut. Dan itu syarat seperti itu hanya mungkin dipenuhi oleh emas dan perak.

Kemungkinan kerancuan terdapat dalam transaksi luar negeri. Jika mata uang yang didasarkan kepada emas ditukarkan dengan mata uang fiat (tidak didasarkan kepada apapun), baik itu transaksi pertukaran biasa maupun akibat transaksi ekspor/import, maka apabila terjadi depresiasi pada mata uang fiat tersebut negara yang mata uangnya didasarkan pada emas akan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan daya beli uang tersebut menurun terhadap barang-barang, baik domestik maupun impor. Karena itu transaksi antar dua mata uang berbeda akan jarang dilakukan.

Jika standar yang digunakan terhadap emas berubah-ubah maka terjadi perburuan mata uang yang nisbahnya lebih kecil terhadap emas. Misalnya pada awal 1999 ditetapkan kurs Rp.100,- = 1 gram dan di Amerika US$ 1 = 1 gram. Ketika memasuki tahun 2000 kurs rupiah terhadap emas lebih lemah menjadi Rp.120/1 gram sedangkan di Amerika tetap. Orang akan memburu dollar, karena secara standar lebih tinggi dari rupiah, dengan asumsi rupiah akan semakin melemah terhadap emas. Dengan demikian spekulasi terhadap mata uang akan tetap ada meskipun mata uang sudah disandarkan kepada emas.

Demikian pula Kegiatan investasi yang masuk dari luar negeri akan terganggu, karena investor khawatir akan melemahnya mata uang domestik terhadap emas. Para importir akan meminta jaminan untuk membayar pada kurs yang telah ditetapkan yang berarti memindahkan beban perubahan nilai tukar pada bank. Untuk itu diperlukan standar yang tidak berubah, bukan saja pada level nasional, tetapi juga pada tingkat internasional.

Demikian pula jika dua standar (bimetallic) yang digunakan, yaitu emas dan perak. Rasio antara emas dan perak yang berubah akan berpengaruh kepada nilai mata uang antar negara. Dengan demikian asumsi-asumsi tertentu (lihat footnote 14) tidak bisa diterapkan begitu saja. Tetapi jika diadakan pembatasan-pembatasan, pemerintah sudah melakukan intervensi pada kehidupan moneter.

IV. KHATIMAH

Dengan keterbatasan-keterbatasan yang disebutkan di atas, sistem mata uang yang berbasis emas dan perak jauh lebih baik ketimbang sistem mata uang yang mengambang (floating) seperti sekarang. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya intervensi suatu negara kepada negara lain melalui sistem keuangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem keuangan internasional tidak bisa terpisah dengan sistem politiknya. Dengan demikian negara yang kuat akan terus mendominasi negara yang lemah melalui sistem mata uangnya. Tidak salah bila orang melihatnya sebagai penjajahan dalam bentuk baru. Dengan sistem mata uang emas setiap negara memiliki kekuasaan (sovereignity) atas mata uangnya sendiri, karena secara asasi siapapun boleh memiliki emas.

Kembalinya sistem mata uang berdasarkan emas sangat mungkin terjadi bila ada kemauan untuk ke arah itu. Dan itu hanya mungkin bila Islam dipakai sebagai acuan karena sistem mata uang emas dan perak telah diabadikan oleh pemerintahan Islam di masa jayanya dan tidak pernah terjadi krisis keuangan seperti yang ada sekarang.

Wallahu A’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar